Banyak instalasi yang hanya memperhitungkan adanya pompa pemadam kebakaran, namun tidak mempertimbangkan cadangan air. Bahkan tidak pernah memperhitungkan berapa panas yang timbul pada saat terjadi kebakaran. Air yang dibutuhkan rata–rata untuk tangki adalah 2,5 liter/dtk/m2.
JAKARTA, Indosafety.id – Kebakaran empat dari 72 tangki milik PT Pertamina (Persero) di Refinery Unit (RU) VI Balongan, Indramayu yang mengakibatkan 20 orang terluka pada Senin (29/3/2021) bukan peristiwa baru.
Sebelumnya, kebakaran tangki di area kilang minyak milik Pertamina, pernah terjadi antara lain di RU IV Cilacap pada 5 Oktober 2016, RU II Dumai (16 Februari 2014), dan RU III Plaju saat bernama Reproming II pada 24 Agustus 1966. Termasuk kebakaran tangki di Depo Plumpang yang berisi BBM, Jakarta Utara pada 18 Januari 2010.
Di luar Pertamina, kebakaran tangki juga pernah terjadi di pabrik bioetanol di Mojokerto, Jawa Timur, Senin (10/8/2020). Kala itu, sebuah tangki berisi cairan bioetanol milik PT Energi Agro Nusantara (Enero) di Jl Raya Gedeg, Desa Gempolkrep, Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, terbakar dan meledak.
Kebakaran tangki yang berisi minyak mentah, BBM, maupun cairan kimia (bioetanol) merupakan peristiwa mengerikan dan mematikan. Sebab material yang terbakar bersifat combustible (mudah terbakar) dan flammable (mudah menyala) serta mengandung gas (uap bahan bakar).
Baca juga: Benarkah Kebakaran Tangki Pertamina Balongan Akibat Petir? Ini Penjelasan Ahli Forensik Api
Alhasil, dalam waktu singkat, percikan api akan berubah menjadi kobaran api. Kandungan gas pada tangki akan memicu terjadinya ledakan hebat. Suara ledakannya bisa terdengar hingga radius 1 km dari sumber api. Bahkan lebih. Korban pun berjatuhan. Mulai dari luka ringan, berat, hingga kematian.
Lantas, bagaimana supaya peristiwa serupa tidak terulang di kemudian hari? Kepada Indosafety.id ahli forensik api yang juga investigator api, Dr Ir Adrianus Pangaribuan, MT, CFEI memberikan sejumlah imbauan dan saran.
Menurut Adrianus, tangki harus dirancang dan direncanakan semaksimal mungkin. Mulai dari sistem deteksi, protection, prevection, hingga fighting-nya. Sistem pengaman pada tangki timbun bahan bakar perlu dibuat berjenjang. Dimulai dengan detector (apapun bentuknya: leak detector; heat detector; flame detector, gas detector) pada tingkat awal, kemudian dilanjutkan dengan pendinginan dan pelarutan (water spray system) baik untuk pendinginan atau untuk menurunkan konsentrasi bahan bakar dan atau oksigen sehingga menaikkan ignition temperature-nya sampai dengan proses sistem pemadaman.
Banyak instalasi yang hanya memperhitungkan adanya pompa pemadam kebakaran, namun tidak mempertimbangkan cadangan air. Bahkan tidak pernah memperhitungkan berapa panas yang timbul pada saat terjadi kebakaran, sehingga pada saat terjadi kebakaran tim pemadam tidak bisa mendekati tangki yang terbakar karena radiasi panas yang tinggi.
Air yang dibutuhkan rata–rata untuk tangki adalah 2,5 liter/dtk/m2. “Sekarang tinggal dihitung berapa banyak tangki di suatu lokasi, berapa luas permukaan setiap tangki, dan berapa lama waktu minimum yang dibutuhkan untuk pemadaman. Dari sana paling tidak bisa diperkirakan berapa banyak air yang dibutuhkan untuk satu satuan waktu (misalnya 1 jam). Jadi kebutuhan air harus linier dengan lama waktu yang dibutuhkan untuk pendinginan dan pemadaman dan kapasitas pompa,” kata Adrianus.
Selain air, untuk tangki bahan bakar, perlu adanya media pemadam kimia yang langsung diinjeksi ke dalam tangki. Biasanya media yang sering digunakan adalah AFFF (Aqueous Film-Forming Foam).
Baca juga: Investigator Api Jelaskan Terjadinya Kebakaran pada Tangki (BBM)
Pada saat api tumbuh di dalam tangki, api butuh oksigen. Pada fase ini AFFF juga harus masuk ke dalam tangki. AFFF juga butuh oksigen untuk tumbuh. Terjadi perebutan kosumsi oksigen dalam tangki yang biasanya didominasi oleh AFFF sehingga oksigen di dalam tangki berkurang bahkan terbatas, lalu api bisa padam.
Jika memungkinkan, di mana lokasi penempatan tangki masih daerah baru dibuka dan masalah lahan bukan menjadi kendala, lakukan pendekatan jarak antar tangki sesuai aturan yang diberlakukan. Bukan hanya jarak antar tangki namun juga jarak antar komponen yang ada di lokasi, tergantung bahan baku yang ada.
Lalu, berlakukan HAC (Hazardous Area Classification) di area kerja tangki dan terapkan zona 0; zona 2 dan zona 3 dengan ketat dan terapkan penggunaan peralatan kerja sesuai standar ATEX/IECEx yang tepat sesuai dengan hazardous area classification.
Untuk selanjutnya, patuhi dan penuhilah semua regulasi yang ada dan berlaku. Lakukan pendekatan fire engineering. Kalau perlu lakukan pemodelan komputer untuk melihat fenomena, pergerakan, karateristik yang mungkin terjadi, termasuk temperatur dan radius dampak dari ledakan, sehingga bisa diketahui jarak aman baik bagi fire brigade, properti dan perimeter (termasuk perkampungan).
“Mahal memang. Tapi mahal tidak akan berbanding lurus dengan akibatnya. Seperti pepatah lama yang mengatakan If you think safety is expensive try an accident,” pungkas Adrianus. (Hasanuddin)