Terjadinya kebakaran dalam tangki dipicu oleh adanya uap bahan bakar yang timbul di dalam tangki. Makin sedikit bahan bakar cair dalam tangki maka makin besar ledakan yang terjadi.
JAKARTA, Indosafety.id – Kasus kebakaran yang menimpa empat dari 72 tangki BBM milik PT Pertamina Refinery Unit (RU) VI Balongan di Indramayu, Jawa Barat, bukan kali ini terjadi.
Sebelumnya, kasus serupa pernah terjadi di pabrik bioetanol di Mojokerto, Jawa Timur, Senin (10/8/2020). Kala itu, sebuah tangki berisi cairan bioetanol milik PT Energi Agro Nusantara (Enero) di Jl Raya Gedeg, Desa Gempolkrep, Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, terbakar dan meledak.
Baca juga: Pabrik Bioetanol Terbakar & Meledak, Satu Pekerja Tewas
Lantas, bagaimana proses terjadinya api dan perambatannya pada tangki bbm (tangki timbun)? Berikut penjelasan ahli forensik api sekaligus investigator api Dr Ir Adrianus Pangaribuan, MT, CFEI.
Menurut Adrianus, terjadinya kebakaran dalam tangki dipicu oleh adanya uap bahan bakar yang timbul di dalam tangki. Makin sedikit bahan bakar cair dalam tangki maka makin besar ledakan yang terjadi.
Adrianus mencontohkan, tangki yang terisi bahan bakar cair misalnya 25% akan lebih besar ledakannya dibandingkan dengan tangki yang terisi 70%. Hal ini disebabkan bagian atas bahan bakar cair dalam tangki akan diisi oleh uap bahan bakar sebesar 75% untuk tangki yang terisi 25% dan 30% untuk tangki yang terisi 70%.
Selanjutnya tergantung dari flash point dari bahan bakar. Misalnya flash point bensin -45oC. Pada temperatur ini akan terjadi proses pyrolysis di mana pada temperatur -45oC bahan bakar akan terurai dan bercampur dengan oksigen dan siap menyala (pada titik ini belum menyala).
“Penyalaan baru akan terjadi pada saat tercapai temperatur nyala-nya (ignition temperature). Misalnya bensin mempunyai flash point -45oC namun ignition temperature biasanya jauh lebih tinggi dari flash point-nya,” kata Adrianus kepada indosafety.id, Senin (29/3/2021).
Pada saat penyalaan terjadi akan timbul atau terbentuk asap. Asap adalah bahan bakar baru yang terbentuk dari hasil pembakaran. Asap ini harus dikendalikan atau dihilangkan. Jika asap bergerak ke lokasi lain, misalnya tangki di sebelahnya sementara tangki asal tidak/belum bisa dipadamkan, maka asap akan menjadi penghubung/jembatan ke tangki berikutnya.
Selain adanya heat transfer (perpindahan panas) baik secara konduksi, konveksi dan radiasi yang menjadi pemicu.
Pada proses pyrolisis terjadi penguraian dan reaksi baik secara kimia maupun fisika di mana perubahan material (bahan bakar) dari yang bersifat combustible menjadi flammable (material mudah bakar menjadi material mudah nyala).
Baca juga: Benarkah Kebakaran Tangki Pertamina Balongan Akibat Petir? Ini Penjelasan Ahli Forensik Api
Asap hasil pembakaran yang terurai dalam bentuk rangkaian carbon panjang. Jika asap ini gagal dikendalikan di mana asap bersatu kembali dan beraksi membentuk rantai pendek carbon (C3; C4) maka asap berubah lagi menjadi bahan bakar.
Dari sisi api tentu yang paling dimungkinkan terjadi pada tangki Migas adalah kebakaran dan ledakan. Kebakaran bisa menyebabkan ledakan dan ledakan bisa menimbulkan kebakaran walaupun kadang berdiri sendiri dan tidak saling berkaitan.
“Selain itu risiko lain adalah terjadinya implosion dan BLEVE (Boiling Liquid Expander Vapor Explosion) di mana pada saat terjadi kebakaran karena proses pemanasan berdampak pada tangki lain. Tekanan naik dan system pressure release tidak dapat mengakomodir kecepatan naiknya tekanan dan gagal melepaskan tekanan yang timbul. Akibatnya tangki meledak,” Adrianus menambahkan.
Dan tentu saja kejadian ini ada proses. Pada saat bahan bakar cair menguap dan proses kenaikan tekanan dalam tangki pada saat proses terjadinya BLEVE akan memakan waktu atau karena kebocoran.
Pada saat kebocoran pasti juga memakan waktu dan di sinilah detector memegang peranan penting dan mengaktifkan fungsi proteksi, terlepas jenis tangki yang digunakan apakah jenis fixed roof atau floating roof. (Hasanuddin)