Di Jakarta, lebih dari separuh gedung rawan kebakaran. Beberapa di antaranya bahkan sama sekali tidak laik fungsi, tetapi tetap digunakan. Seberapa aman gedung yang Anda tempati?
JAKARTA, Indosafety.id – Jakarta tak lagi pantas menyandang julukan ‘Big Village’ (Kampung Besar). Julukan itu mengacu pada banyaknya jumlah kampung/perkampungan di kota Jakarta pada saat itu, persisnya ketika status kota Jakarta dinaikkan dari Daerah Tingkat Dua (DT II) menjadi DT I yang dipimpin seorang Gubernur pada tahun 1959.
Berdasarkan peta Batavia antara tahun 1877-1910, di Jakarta ada sekitar 200 – 500 kampung. Tetapi kini, tak ada lagi kampung/dusun di kota Jakarta. Area persawahan, perkebunan, pertanian, empang, yang tersebar di seantero Jakarta seperti pada peta Batavia itu, benar-benar sudah lenyap dari peta.
Jakarta kini telah tumbuh menjadi hutan beton. Aneka pepohonan yang dulu menjulang tinggi ke langit dan tumbuh di seantero Jakarta seperti pohon kelapa, pohon nangka, pohon kecapi, pohon mangga, dsb kini sudah berubah rupa menjadi gedung-gedung pencakar langit.
Baca juga : Kebakaran Gedung Kejagung Tak Semata Kesalahan Kuli Bangunan
Perahu-perahu kecil (getek) yang hingga tahun 1940-an masih terlihat berseliweran di sungai-sungai kota Jakarta, kini berganti menjadi tumpukan sampah. Delman/sado sebagai moda transportasi yang menggunakan satwa kuda yang dulu berseliweran, kini berubah menjadi kaleng-kaleng berjalan (mobil).
Perubahan drastis wajah kota Jakarta itu terjadi seiring ditetapkan Jakarta sebagai DT I sekaligus Ibukota Negara RI pada tahun 1959. Sejak itu terjadi ledakan penduduk seiring terus meningkatnya aktivitas di kota Jakarta sebagai ibukota negara. Pada tahun 1945, ketika Indonesia merdeka, jumlah penduduk kota Jakarta tercatat 600.000 jiwa.
Lima tahun kemudian atau 1950, jumlahnya membengkak hingga 188,9% menjadi 1.733.600 jiwa. Sejak itu, jumlah penduduk kota Jakarta terus meningkat. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2017 jumlah penduduk kota Jakarta sudah mencapai 10.374.253 jiwa dan 10,6 juta jiwa di tahun 2020.
Meski telah disesaki bangunan dan manusia, toh masyarakat dari daerah terus berdatangan ke Jakarta untuk mengadu nasib. Luas lahan yang terbatas (661,52 km2) dan semakin banyaknya pemukiman di kota Jakarta yang digusur untuk dijadikan gedung-gedung, membuat wilayah di sekitar kota Jakarta seperti Depok, Tangerang, dan Bekasi, kebanjiran pendatang baru yang kemudian menetap.
Jakarta menjelma menjadi sebuah kota metropolitan yang mencakup Tangerang, Depok, dan Bekasi (Jadetabek). Pada 2017, jumlah penduduk Jadetabek tercatat sekitar 28 juta jiwa, dan tercatat merupakan kota metropolitan terbesar ke dua di dunia.
Baca juga: Aneka Bahaya Mengintai Dibalik Bangunan Gedung
Perubahan kota Jakarta yang sangat drastis dalam kurun waktu setengah abad (1959-2009) itu menjadikan Jakarta sebagai kota yang tak lagi ramah bagi penduduknya. Tingkat polusi udara begitu tinggi, ketersediaan air bersih dari pompa sumur sudah sulit ditemukan, sungai-sungai berubah menjadi keranjang sampah, kemacetan lalu lintas sudah berada pada tingkat yang parah, aksi kejahatan merajalela, dan sebagainya.
Pada 2015, The Economist, majalah ekonomi terkemuka di Inggris, bahkan menempatkan Jakarta sebagai kota paling tidak aman di dunia. Dari 50 kota-kota besar yang disurvei The Economist, Jakarta menempati posisi buncit atau posisi 50.
Jakarta banyak disebut-sebut sudah tidak layak lagi untuk ditempati. Wacana memindahkan ibukota negara RI dari kota Jakarta, terus bergulir.
Aneka gedung, gedung tinggi, dan gedung pencakar langit yang telah menggusur aneka pepohonan dan pemukiman penduduk itu, nyatanya menyimpan beragam potensi bahaya bagi para pengguna dan penghuninya, masyarakat secara luas, maupun lingkungan. Secara umum, kerusakan lingkungan merupakan bahaya nyata yang serius dari kehadiran gedung-gedung di Jakarta.
Amblasnya permukaan tanah Jakarta, pengambilan air tanah yang sangat berlebihan, menyusutnya luas ruang terbuka hijau, polusi air, merupakan sebagian dari begitu banyak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh gedung-gedung di kota Jakarta.
Baca juga: Pentingnya Investigasi Kebakaran & Ledakan Bagi Keberlangsungan Suatu Fasilitas (1)
Di luar persoalan lingkungan, kebakaran adalah ancaman nyata yang paling sering terjadi di gedung-gedung di Jakarta dan tak jarang merenggut korban jiwa. Kasus kebakaran Wisma Kosgoro yang fenomenal, Hotel Swiss Bell-In Kelapa Gading, pasar Senen yang mengalami kebakaran berkali-kali, Gedung Bank Indonesia (BI), Gedung Karya Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Mall Taman Anggrek, dan masih banyak lagi.
Teranyar kekabaran Gedung Utama Kejaksaan Agung (Kejagung) pada 22 Agustus 2020. Meski dilaporkan tak ada korban, toh kebakaran di gedung yang merupakan simbol penegakan hukum di negeri ini tersebut, cukup menyesakkan dada.
Betapa tidak, kebakaran tersebut berlangsung dalam tempo relatif singkat. Berdasarkan hasil penyelidikan, pemicunya bagian eksterior gedung menggunakan aluminium composite panel yang mudah terbakar.
Ada kesalahan dalam pemilihan material. Situasi ini makin runyam manakala pihak pengelola gedung juga menggunakan cairan pembersih lantai yang mengandung zat kimia yang sangat mudah terbakar.
Baca juga: Pentingnya Investigasi Kebakaran & Ledakan Bagi Keberlangsungan Suatu Fasilitas (2-Habis)
Berdasarkan data Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Gulkarmat) DKI Jakarta, hampir 50% gedung di Jakarta tidak memiliki pencegahan dini kebakaran. Hampir 50% gedung di DKI tidak memiliki sistem pencegah dini kebakaran.
Merujuk dari data tahun 2017 lalu, setidaknya ada 508 gedung dari 867 gedung yang belum aman. Gedung gedung itu tercatat dengan kualitas pencegahan yang minim.
Ada beragam faktor mengapa gedung-gedung tinggi di Jakarta rawan kebakaran. Di antaranya springkler tak berfungsi, hydrant mati, hingga selang yang tidak baik. Meski demikian, pihak Gulkarmat DKI Jakarta berupaya meminimalisir kebakaran di Jakarta.
Imbauan serta penyuluhan kerap dilakukan ke beberapa pengelola gedung pencakar langit. Upaya itu nyatanya tak mampu mengurangi pemilik gedung yang kian sadar mengatasi kebakaran.
Selain kebakaran, anjloknya moda transportasi gedung berupa lift tercatat merupakan peristiwa kecelakaan gedung yang juga sering terjadi, seperti yang terjadi di pusat niaga Blok M Square, Blok M Plaza, perkantoran Arkadia, dan masih banyak lagi.
Belum lagi kasus jatuhnya lift di Blok M Square, menara BRI II, gedung perkantoran Arkadia, RS Fatmawati, proyek perluasan pembangunan RS Unisma Malang, kantor DPRD Yogyakarta, dan sebagainya.
Di pusat-pusat niaga, kasus anak kecil yang terjepit mesin tangga berjalan (eskalator) juga marak terjadi. Lalu ada pula kecelakaan gedung berupa kegagalan bangunan seperti ambruknya mezzanine di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) yang menciderai puluhan orang.
Kasus ambruknya mezanine di gedung BEI pada 18 Januari 2018 yang mengakibatkan 74 orang mengalami luka. Tak sedikit yang mengalami patah tulang.
Kehadiran rumah susun, apartemen, kondominum yang menjamur di seantero kota Jakarta, tak hanya mampu mengubah budaya hunian masyarakat Indonesia; dari horizontal ke vertikal. Tetapi juga menjadi arena pentas bagi mereka yang putus-asa.
Kasus bunuh diri dengan cara loncat dari ketinggian apartemen merupakan peristiwa yang tak kalah seringnya terjadi. Pun demikian dengan anak-anak balita yang jatuh dari ketinggian apartemen.
Atau pula kasus balita yang tewas terjatuh di pusat niaga (mall) dan apartemen, kendaraan yang terjatuh dari ketinggian gedung parkir, dan masih banyak lagi kasus kecelakaan yang terjadi di gedung.
Gedung juga menjadi sasaran kaum teroris untuk melancarkan aksi biadabnya. Kasus ledakan bom di pusat perbelanjaan Atrium Senen, gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ), Hotel JW Marriot, plus bangunan-bangunan ibadah.
Belum lagi ancaman bahaya yang datang dari alam. Walaupun kota Jakarta relatif lebih aman dibanding beberapa kota lainnya di dunia, toh ketika gempa mengguncang, kepanikan langsung terjadi.
Para penghuni gedung langsung berebut memasuki lift untuk menyelamatkan diri. Luas lift yang amat terbatas dengan beban angkut yang juga terbatas, menjadi potensi terjadinya kecelakaan baru sebagai imbas dari kepanikan yang terjadi.
Pakar K3 Soehatman Ramli mengklasifikasikan potensi bahaya dalam bangunan gedung menjadi dua bagian. Yaitu potensi bahaya gedung bertingkat dan potensi bahaya dalam gedung.
Potensi bahaya gedung bertingkat setidaknya terdiri atas tujuh jenis yaitu Fisis (ventilasi, penerangan, suhu kerja, bising), Kimiawi (kebakaran, keracunan, peledakan), Bencana Alam (gempa bumi, petir), Mekanis (lift, eskalator, mesin dan instalasi), Listrik (hubungan singkat), Biologis (virus, binatang), dan Psikologis (sindrom gedung tinggi).
Sedangkan potensi bahaya dalam gedung didasarkan atas ancaman bahaya per ruangan. Yaitu Basement (gas beracun dari kendaraan, penyakit akibat kerja, kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas, kebakaran), Kantor/Akomodasi (bahaya kebakaran, bahaya listrik, sengatan listrik, kecelakaan kerja), Laundry (kimia, kebakaran, listrik, kecelakaan kerja), dan Dapur (kebakaran, gas dan uap beracun, kecelakaan kerja).
Lalu, seberapa aman gedung yang Anda tempati? (Hasanuddin)