Untuk menjadi mitra kerja (vendor) di PT Waskita Karya (Persero) Tbk, seorang mandor pun harus lulus penilaian CQSMS (Contractor Quality Safety Management System). Seorang mandor yang akan menjadi Rekanan Waskita harus memiliki kompetensi QHSE yang baik dan mumpuni.
JAKARTA, Indosafety.id – Konstruksi merupakan salah satu sektor industri yang berisiko tinggi (high risk) terhadap terjadinya kecelakaan dengan dampak yang acap berakhir secara fatal (fatality accident) bagi para korbannya seperti meninggal dunia, cacat, patah tulang, dan luka berat lainnya.
Para korban tak hanya merupakan para pekerja yang sedang bekerja di proyek-proyek konstruksi. Tetapi juga masyarakat umum seperti kasus runtuhnya konstruksi jembatan Kutai Kertanegara (Kukar) di Kalimantan yang menewaskan 24 orang pada 26 November 2011, ambruknya selasar gedung BEI pada 15 Januari 2018 yang mengakibatkan 72 orang terluka, dan masih banyak lagi.
Dalam konteks K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja), konstruksi merupakan salah satu sektor industri yang paling banyak menelan korban jiwa, terutama bagi para pekerjanya. Situasi ini tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara di dunia, tak terkecuali Amerika Serikat yang selama ini dikenal sebagai salah satu negara termaju dalam safety dan K3 di dunia.
Baca juga: Ditengah Pandemi Covid-19, Tim Proyek Bendungan Rukoh Ngebor Bukit Sejauh 190 Meter
Di Indonesia sendiri, kasus kematian pekerja akibat jatuh dari ketinggian, menyumbang lebih dari 30% total angka kematian pekerja akibat kecelakaan kerja, setiap tahunnya. Dan kasus kecelakaan kerja berupa jatuh dari ketinggian itu nyaris seluruhnya terjadi di proyek-proyek konstruksi, baik proyek kategori Proyek Strategis Nasional (PSN) yang bernilai triliunan rupiah hingga proyek berskala kecil yang bernilai puluhan juta rupiah.
Dampak yang ditimbulkan secara langsung tak sekadar korban manusia/pekerja. Tetapi juga kerugian finansial bagi perusahaan, yang berpotensi pada terancamnya keberlangsungan bisnis perusahaan. Dalam skala lebih luas, kecelakaan kerja akan menimbulkan dampak secara multidimensi seperti ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan.
Lantas, mengapa kasus kecelakaan kerja marak terjadi di sektor konstruksi dan sering berakibat fatal? Tentu ada begitu banyak hal yang menjadi faktor penyebabnya dan bisa saling terkait satu sama lain. Mulai dari aspek teknis, karakteristik proyek konstruksi yang khas, hingga aspek budaya.
Secara teknis, para ahli keselamatan konstruksi sepakat bahwa potensi terjadinya kecelakaan konstruksi sudah dimulai sejak tahap perencanaan, perancangan, pemilihan alat dan metode kerja (procurement), pelaksanaan pekerjaan konstruksi, penyelesaian pekerjaan, hingga pemeliharaan.
Selaku kontraktor papan atas nasional yang dalam beberapa tahun ini medapat kepercayaan untuk mengerjakan banyak proyek berkategori PSN, PT Waskita Karya (Persero) Tbk terus berupaya mewujudkan terciptanya nihil kecelakaan (zero accident) di setiap proyek yang dikerjakannya dengan karya bermutu.
Baca juga: Konstruksi Hijau Untuk Bangunan Hijau
Guna mewujudkannya, Waskita Karya menerapkan aspek keselamatan konstruksi dari hulu hingga hilir. Di tingkat hulu, salah satu BUMN Konstruksi ini sudah melakukannya sejak tahap perencanaan, perancangan, hingga tahap pemilihan dan pengadaan (alat, metode kerja, hingga vendor/mitra kerja).
Soal mitra kerja (vendor), Waskita Karya memilihnya secara selektif dan ketat. Menurut Batara Jadi A Pane, Manajer 2 Divisi QHSE & Systems PT Waskita Karya (Persero) Tbk, untuk menjadi rekanan Waskita Karya, setiap vendor terlebih dahulu harus lolos seleksi administratif (Verifikasi on Desk).
Di tahap ini, keabsahan kualitas dokumen vendor akan diseleksi dan dinilai. Vendor yang lolos seleksi administratif disebut Calon Rekanan Waskita.
Mereka yang lolos, akan memasuki tahap selanjutnya yaitu Verifikasi Site Fisik dan Penilaian CQSMS (Contractor Quality Safety Management System). Menurut Batara, penilaian CQSMS dilakukan untuk memastikan bahwa Waskita Karya memiiki rekanan kerja yang betul-betul profesional dan handal dari sisi kompetensi/pengalaman kerjanya.
“Selain itu untuk memastikan vendor memiliki komitmen dan konsistensi untuk melaksanakan persyaratan implementasi sistem QHSE sebagaimana dibutuhkan Waskita Karya,” kata Batara kepada Indosafety.id di Jakarta, Rabu (16/12/2020).
Penilaian CQSMS dilakukan melalui aplikasi WAVE (Waskita Vendor). Penilaian CQSMS dilakukan terhadap dua kategori vendor yaitu perusahaan dan perorangan. Perusahaan terdiri atas supplier, sub kontraktor, sewa alat, usaha mikro & kecil, jasa khusus, dan konsultan konstruksi. Sedangkan kategori perorangan terdiri atas jasa khusus, konsultan konstruksi, konsultan perorangan, mandor borong, dan usaha mikro & kecil.
Baca juga: Mengukir Rekor di Proyek Tol Cimanggis – Cibitung
Berdasarkan rekap penilaian per 1 Nov 2020, kata Batara, dari 3.382 vendor di kategori perusahaan yang mengikuti penilaian CQSMS, hanya 361 vendor yang dinyatakan lulus atau 11%. Selebihnya, 3.021 vendor atau 89% tidak lulus.
Untuk kategori perorangan, berdasarkan data yang sama, dari 1.064 yang mengikuti penilaian CQSMS, hanya 85 orang (8%) yang lulus. Sedangkan 979 orang lainnya atau 92% tidak lulus.
Menariknya, dari 1.064 peserta, terbanyak adalah mandor borong yaitu 771 orang atau 72,64%. Namun ketika dilakukan penilaian CQSMS, jumlah mandor borong yang lulus hanya 26 orang atau 3,37%.
“Dari 26 orang mandor itu, sebanyak 20 mandor lulus dengan kategori low risk dan enam mandor lainnya lulus dengan kategori medium risk,” kata Batara.
Bagi vendor yang belum lulus, baik kategori perusahaan maupun perorangan seperti halnya mandor, toh Waskita Karya tetap memberi kesempatan dengan membuka E-Clinic yang disupport Run System, e-WISE CQSMS . Dalam program berbasis learning management system (LMS) itu, Waskita berupaya meningkatkan kualitas dan kompetensi vendor yang terdaftar di WAVE. (Hasanuddin)
1 Comment
Prioritas sekali K3 di smua lini jasa industri..