JAKARTA, Indosafety.id – Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No 9 Tahun 2016 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Dalam Pekerjaan Pada Ketinggian yang dikeluarkan pada 10 Maret 2016, merupakan salah satu solusi dalam upaya mencegah terjadinya kecelakaan kerja berupa jatuh dari ketinggian.
Permenaker No 9 Tahun 2016 yang terdiri atas 10 Bab dan 45 Pasal tersebut sudah mengatur secara lengkap pekerjaan pada ketinggiaan. Permenaker No 9 Tahun 2016 memuat pengawasan pengaturan mengenai pekerjaan pada ketinggian secara komprehensif.
Pokok-pokok pengaturan pengawasan mengenai pekerjaan pada ketinggian dalam Permenaker No 9 Tahun 2016 itu meliputi; perencanaan, prosedur kerja, teknik bekerja aman, peralatan perlindungan (APD, Perangkat Pelindung Jatuh, dan Angkur), dan tenaga kerja.
Baca juga : Permenaker No 9/2016 Hadir Untuk Meminimalisir Dampak Pekerja Jatuh dari Ketinggian
Intinya, bekerja pada bangunan tinggi dan pada ketinggian tak bisa dilakukan sembarang orang. Tetapi harus dilakukan oleh tenaga kerja yang kompeten dan berwenang di bidang K3, dalam pekerjaan pada ketinggian (Pasal 31).
Selanjutnya Pasal 32 dan 33 menjelaskan siapa yang dimaksud tenaga kerja yang kompeten dan berwenang di bidang K3, dalam pekerjaan pada ketinggian.
Mereka yang bekerja di ketinggian, harus mengantongi sertifikat lulus pembinaan K3 dan memiliki pengalaman 500 jam kerja pada ketinggian tingkat 1 bagi pekerja pada ketinggian tingkat 2 dan pengalaman 1.000 jam kerja pada ketinggian tingkat 2 bagi pekerja pada ketinggian tingkat 3.
“Peningkatan kualitas SDM pada pekerjaan ketinggian sangat diperlukan,” tegas mantan Direktur Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja (PNK3) Ditjen Binwasnaker dan K3 Kemnaker, Ir Amri AK, MM.
Baca juga: Kecelakaan Lift Proyek Kembali Terjadi, 6 Pekerja Cidera Parah
Amri berdalih, bekerja pada ketinggian berbeda dengan bekerja pada umumnya yang melakukan aktifitas pekerjaan pada lantai kerja yang tetap. Pekerja pada ketinggian, katanya, bekerja pada berbagai situasi lantai kerja.
“Dia harus mampu bekerja di lantai kerja tetap, lantai kerja sementara, bergerak secara horizontal dan vertikal pada struktur bangunan menuju dan meninggalkan lantai kerja tetap atau lantai kerja sementara, bahkan bekerja di tempat kerja miring,” beber Amri.
Jadi, sambung Amri, bekerja pada ketinggian memerlukan pengetahuan dan keterampilan khusus. Pengetahuan dan keterampilan khusus itu diperoleh dari hasil pembinaan K3 yang dilakukan Kemnaker.
“Itu sebabnya mengapa bekerja pada bangunan tinggi dan pada ketinggian harus dilakukan oleh tenaga kerja yang kompeten dan berwenang di bidang K3 dalam pekerjaan pada ketinggian sebagaimana diatur dalam Permenaker No 9 tahun 2016,” Amri menambahkan.
Baca juga: Suspension Tower SUTET Roboh, 4 Pekerja Tewas dari Ketinggian
Ihwal SDM yang kualitasnya perlu ditingkatkan ini diakui Ir Christofel P Simanjuntak, MSi, Deputy Head QHSE PT Total Bangun Persada dan Drs Dominggus Manuputty, MM dari Asosiasi Ahli Keselamatan Kesehatan Kerja Konstruksi Indonesia (A2K4I). Menurut keduanya, hal itu bisa terjadi dikarenakan kegiatan proyek konstruksi melibatkan banyak tenaga kerja kasar yang berpendidikan relatif rendah.
“Sesuai karakteristiknya, kegiatan proyek konstruksi melibatkan jumlah tenaga kerja yang besar. Untuk pekerjaan kasar, kami tidak bisa menentukan para pekerja berdasarkan jenjang pendidikan karena pekerjaan konstruksi membuka kesempatan kepada siapa saja untuk bisa bekerja. Tapi, kami di Total Bangun Persada, sudah berupaya menerapkan K3 secara terintegrasi di setiap tahapan kegiatan konstruksi. Tujuannya untuk meminimalisir terjadinya kecelakaan kerja,” kata Christofel.
Total Bangun Persada sendiri, kata Christofel, mengkhususkan diri sebagai perusahaan konstruksi yang mengerjakan proyek-proyek bangunan tinggi. Karena itu, kecelakaan kerja berupa jatuh dari ketinggian juga tak luput dari proyek-proyek yang tengah dijalankan PT Total Bangun Persada.
Hal senada dikemukakan Dominggus. “Kegiatan konstruksi merupakan proyek padat karya, yang memiliki waktu pengerjaan terbatas dan banyak dari para pekerja proyek konstruksi itu yang berlatar belakang petani. Ketika menunggu masa panen, mereka mencari pekerjaan lain di perkotaan. Ini tidak bisa dihindari. Solusinya adalah membudayakan apel K3 sebelum kegiatan dimulai,” kata Dominggus. (Hasanuddin)