PENGANTAR
Dalam hal K3, Indonesia disebut-sebut masih tertinggal dibanding banyak negara di dunia. Di kawasan regional Asia Tenggara sekalipun, K3 Indonesia dinilai berada di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Padahal, secara historis, Indonesia sudah lebih dulu mengenal K3 modern yaitu dengan diberlakukannya UU No 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja pada 12 Januari 1970. Indonesia juga tercatat merupakan negara pertama di ASEAN yang memiliki Dewan K3 Nasional (DK3N). Lantas, apa yang terjadi dengan K3 Indonesia? Apa yang harus dilakukan? Bagaimana peran DK3N? Mengapa Indonesia baru memiliki Profil K3 Nasional setelah hampir setengah abad UU Keselamatan Kerja diberlakukan? Berbagai pertanyaan terkait K3 nasional itu mengantarkan wartawan Indosafety.id Hasanuddin menemui Wakil Ketua DK3N Dr Ir Rudianto, Dip ISM, MIIRSM, MA, MBA di ruang kerjanya di kawasan Jakarta Utara pada Selasa (16/7/2019). Berikut petikan wawancaranya, semoga memberikan informasi bermanfaat. REDAKSI
Pemerintah, dalam hal ini Kemnaker difasilitasi ILO, pada 27 Juni 2019 meluncurkan Profil K3 Nasional di Indonesia 2018. Apakah pembuatan Profil K3 Nasional ini dinilai terlambat, jika dikaitkan dengan UU Keselamatan Kerja yang sudah ada sejak tahun 1970 (UU No 1 tahun 1970)?
Saya kira tidak ada kata terlambat kalau bicara K3. Cuma kalau dibandingkan dengan negara-negara lain, kita memang tertinggal dalam hal pendataan terkait K3. Ketika saya menghadiri ASEAN OSHNET pada tahun 1999, ada yang namanya computerized based network yang digunakan oleh beberapa negara untuk melakukan proses pendataan K3. Ketika itu mereka berada pada tahap awal dalam melakukan proses pendataan di negaranya masing-masing. Sekarang ini negara-negara seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand sudah cukup advanced. Kini, 20 tahun setelahnya, masa iya kita masih belum punya juga data nasional tentang K3.
Bagaimana peran DK3N dalam penyusunan dan pembuatan Profil K3 Nasional tersebut?
Dalam penyusunan dan pembuatan Profil K3 Nasional di Indonesia 2018 itu, DK3N terlibat aktif. Sebagian besar anggota DK3N ikut terlibat, mulai dari awal hingga akhir. Keterlibatan DK3N sudah berlangsung sejak awal, yaitu dalam tahap penyusunan kerangka Profil K3 Nasional yang ketika itu dilakukan bersama ILO sebagai fasilitator penyusunan dan pembuatan Profil K3 Nasional.
Baca juga : Pendataan K3 Indonesia Tertinggal Jauh
Profil K3 Nasional di Indonesia 2018 merupakan profil K3 nasional pertama yang dibuat. Menurut Bapak, hal mendasar apa yang melatari pembuatan Profil K3 Nasional?
Kenapa profil K3 Nasional itu harus dibuat, menurut saya ada dua hal yang menjadi dasar pembuatannya. Pertama, Profil K3 Nasional merupakan persyaratan dari Konvensi ILO (No 187 tahun 2006, red) yang sudah harus diterapkan (setelah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui Perpres No 34 tahun 2014, red) di Indonesia terkait masalah mitigasi. Mitigasi dapat dilakukan dengan mengetahui data record incident dan accident, yang kemudian bisa menjadi dasar kita membuat program-program pencegahan.
Kedua, terkait data untuk kepentingan mitigasi sebagaimana Konvensi ILO yang sudah kita ratifikasi itu, selama ini kita tidak pernah punya data incident dan accident yang lengkap dan komprehensif. Kenapa kita tidak punya? Karena selama ini kita tidak punya proses secara end to end untuk melakukan pengumpulan data. Mulai dari tingkat Disnaker yang ada di setiap daerah di Indonesia hingga tingkat nasional di Kementerian Ketenagakerjaan.
Secara global terkait aspek ketenagakerjaan, semisal ada berapa jumlah perusahaan, berapa jumlah tenaga kerjanya, mungkin datanya ada. Tetapi data terkait K3 yaitu incident dan accident, nyaris tidak ada. Data inilah yang diminta ada dalam annual report, yang diminta di setiap sidang ILC (International Labour Conference) di Jenewa, Swiss oleh ILO. Kalau kita akses di internet, kita jarang menemui adanya data K3 Indonesia.
Baca juga: Data KK & PAK Sangat Penting Bagi Kemajuan K3 Indonesia
Bukankah selama ini kita punya data kecelakaan kerja?
Selama ini data incident dan accident terkait K3 di Indonesia lebih banyak didapatkan atau berasal dari BPJS Ketenagakerjaan. Seperti kita tahu, data accident BPJS Ketenagakerjaan ini hanya mencatat kejadian kecelakaan kerja yang menimpa pekerja yang telah menjadi anggota peserta BPJS Ketenagakerjaan sehingga tidak merepresentasikan kasus kecelakaan yang sesungguhnya terjadi. Sebab pekerja yang menjadi anggota peserta BPJS Ketenagakerjaan, jumlahnya masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan total jumlah pekerja di Indonesia, dan didominasi oleh pekerja sektor formal. Sementara jumlah pekerja informal jauh lebih banyak, sekitar 60 – 70 persen.
Oleh karena itu, pembuatan Profil K3 Nasional menjadi suatu keharusan. Profil K3 Nasional ini paling tidak menjadi suatu format bagi para pelaku usaha di Indonesia, sesuai terminologi dalam UU No 1 tahun 1970, untuk melaporkan kondisi K3 di perusahaannya ke instansi berwenang yang terdekat.
Terkait data incident dan accident yang terbilang minim, menurut Bapak apa kendala utama yang dihadapi selain tidak adanya proses pengumpulan data secara end to end sebagaimana Bapak sebutkan tadi?
Di kalangan pekerja informal, kendalanya adalah soal kurangnya pemahaman K3 dikaitkan dengan pekerjaan yang dilakukannya. Sehingga ketika mengalami kecelakaan di saat bekerja semisal petani mengalami luka di bagian kakinya karena terkena cangkul, dia tidak tahu kalau yang dialaminya itu merupakan kecelakaan kerja.
Sedangkan di kalangan pekerja formal, perusahaan tempatnya bekerja sudah mengimplementasikan aspek K3 atau tidak. Kalau sudah, berarti harus ada organisasinya seperti P2K3 yang di dalamnya harus ada ahli K3. Format pencatatan dan pelaporannya ada atau tidak? Kalaupun punya, sesuai standar atau tidak, dan standard reporting seperti apa sih yang dibutuhkan? Kita tidak punya format seperti itu sehingga belum bisa distandarisasi. Yang muncul kemudian hanyalah laporan terkait kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja (PAK).
Soal format dan mekanisme pencatatan dan pelaporan bukannya sudah diatur lewat Permenaker dan Permenkes?
Betul, tetapi apakah laporannya itu kompilasi atau tidak, komprehensif atau tidak. Kami di DK3N sampai sekarang ini belum melihat ada reporting yang komprehensif seperti di ILO Frameworks Reporting. Kalau standarisasi pelaporannya mengacunya ke ILO Frameworks Reporting, harusnya semua elemen dalam pelaporan terpenuhi dong. Selama ini yang terjadi, laporan itu parsial saja. Kecelakaan kerja saja atau PAK saja atau juga program-program apa saja yang dilakukan perusahaan terkait upaya pencegahan incident dan accident di perusahaannya.
Baca juga: Data Kecelakaan Kerja ‘Simpang-siur’
Bagaimana peran DK3N untuk mengatasi persoalan pelaporan yang selama ini Bapak nilai tidak komprehensif tadi?
Kita di DK3N sebenarnya memiliki program sistem pelaporan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja berbasis teknologi informasi. Yaitu dengan merancang pembuatan platform laporan dalam bentuk aplikasi yang bisa diakses masyarakat sehingga bisa membuat laporan secara langsung di aplikasi tersebut. Program ini adalah salah satu upaya membangun basis data K3 di Indonesia, walaupun kecil, bisa sebagai data pembanding bagi data kecelakaan kerja yang selama ini dikeluarkan BPJS Ketenagakerjaan.
Bicara K3 nasional, bagaimana Bapak melihat koordinasi lintas sektoral yang selama ini terjadi dan apa harapan Bapak dengan terbitnya Profil Nasional K3 di Indonesia?
Profesi masih sangat melekat di masing-masing sektoral. Kalau kita lihat di beberapa negara yang K3-nya maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan lainnya, disepakati dulu siapa yang akan menjadi host-nya di tingkat nasional. Generic levelnya dulu yang disepakati. Jadi konsep K3 yang dikembangkan di negara-negara itu dilakukan secara generik dan bergerak berdasarkan level-level generik yang sudah disepakati tadi. Di Amerika misalnya ada OSHA, lalu di Inggris ada HSE Executive, British Safety Council. Setelah generiknya terpenuhi, lalu masuk ke sektoral yang membutuhkan keahlian khusus terkait profesi dan bidang keahliannya masing-masing.
Di Indonesia, bukankah konsep Generik itu sudah disepakati lewat UU No 1 tahun 1970?
Betul. Jadi kalau bicara koordinasi, UU No 1 tahun 1970 menurut saya masih relevan. Cuma perlu dibagi yang jelas, detail mengenai tugas dan fungsi masing-masing sektoral tersebut agar tidak bertubrukan atau menyebabkan timbulnya ego sektoral.
Baca juga: Mengapa Data PAK di Indonesia Minim?
Sejauh ini yang Bapak lihat?
Ya (ego sektoral) masih terjadi karena tidak adanya pemersatu. Kalau di Amerika ada OSHA atau di Inggris HSE Executive, British Safety Council, yang menjadi poros bagi segala hal terkait K3 di kedua negara tersebut. OSHA di Amerika Serikat bahkan menjadi lembaga K3 nasional yang powerful dan disegani hingga ke seluruh negara bagian.
Di Indonesia, lembaga K3 nasional yang berfungsi sebagai pemersatu seperti halnya OSHA atau HSE Executive tadi bukannya sudah disepakati ada di Kementerian Ketenagakerjaan sebagaimana diamanahkan dalam UU No 1/1970?
Betul, tapi ya itu tadi ego sektoral masih terjadi. Secara nasional memang ada di Kemnaker, tapi code of conduct dan code of practice kan masih ada di masing-masing sektoral. Seperti tadi saya katakan, perlu dibagi lagi secara jelas dan detail seperti halnya dilakukan OSHA di Amerika. Nah, terkait kehadiran Profil K3 Nasional, diharapkan koordinasi lintas sektoral bisa berjalan optimal sebab Profil K3 Nasional tersebut disusun dan dibuat dengan melibatkan banyak pihak terkait, tidak Kemnaker saja.
Mengingat ego sektoral yang masih terjadi, apakah soal K3 nasional perlu ditangani kementerian khusus, misalnya Kementerian K3?
Menurut saya, level kementerian akan lebih bagus. Tapi mungkin di awalnya akan bagus dibentuk Badan Koordinasi (Bako) K3, yang akan melakukan proses kompilasi seperti halnya OSHA di Amerika Serikat atau HSE Executive dan British Safety Council di Inggris. Sehingga tercipta koordinasi di tingkat field-nya atau lapangannya. Kalau sekarang kan, misalnya dilakukan pemeriksaan oleh Kemnaker, instansi atau sektor lain merasa tidak terima karena masing-masing sektoral merasa punya tim pemeriksa sendiri. Padahal konsep safety kan ujungnya generik, yaitu memitigasi terjadinya kecelakaan kerja atau PAK.
Terkait DK3N, banyak pihak berharap DK3N menjadi lembaga K3 nasional di Indonesia yang powerful seperti halnya OSHA di Amerika Serikat atau British Safety Council di Inggris. Tanggapan Bapak selaku Wakil Ketua DK3N?
Secara definitif, yang namanya anggota DK3N itu lebih kepada memberikan masukan kepada Menteri Ketenagakerjaan. Itu lah batas kewenangan DK3N yang diperkenankan. Memang ada harapan DK3N lebih dari itu. Misalnya saja membuat suatu kajian. Namun hambatannya adalah prosedur yang berlaku di DK3N. Secara professional, para anggota DK3N bisa melakukan kajian, namun prosesnya tidak akan terakomodir dalam administrasinya DK3N.
Baca juga: Pendidikan K3 Sudah Saatnya Diperkenalkan Sejak TK
Konkretnya?
Seperti saya katakan tadi, batas kewenangan DK3N lebih ke arah memberikan masukan atau saran (advice) kepada Pak Menteri. Jadi basisnya lebih kepada man base, kehadiran. Sedangkan untuk membuat kajian, dibutuhkan program yang sustain dan budget. Sejak DK3N dibentuk, tidak ada budget untuk melakukan kajian. Memang ada beberapa anggota DK3N yang melakukan penelitian dan kajian terkait K3, tetapi hal itu dilakukan atas dasar profesionalisme pribadi.
Saran dan harapan Bapak tentang DK3N ke depannya?
Pertama, para anggota DK3N direkrut mewakili (representatif) dari semua stakeholder, yang memang ahli di bidangnya. Kedua, dialokasikan anggaran bagi DK3N untuk melakukan proses penelitian dan kajian.
Pemerintah menargetkan, tahun 2020 tercapai kemandirian masyarakat berbudaya K3. Bapak optimis?
Kalau kita lihat realisasinya, saya kira berat ya tercapai di 2020. Mungkin perlu didefinisikan kembali tingkat kualitas budaya K3-nya seperti apa yang hendak dicapai, karena target yang dicanangkan itu sifatnya generik, kepada seluruh lapisan masyarakat. Selama ini kita lebih concern terhadap pemahaman tentang K3 dari setiap pekerja, baik pekerja sektor formal maupun informal. Paling tidak setiap pekerja di Indonesia bisa mengidentifikasi dan mengenal potensi risiko bahaya di tempat kerjanya masing-masing. Pemahaman ini bisa diketahui lewat statistic methods dengan mengajukan sejumlah pertanyaan kepada para pekerja. Dari situ kemudian kita bisa mengukur sudah sejauh mana pemahaman K3 di kalangan pekerja kita.
UU No 1 Tahun 1970 perlu direvisi?
Menurut saya, UU No 1 tahun 1970 sudah saatnya direview mengingat usianya sudah hampir 50 tahun, sesuai dengan perkembangan zaman.
Safety Is My Life menurut Bapak?
Safety harus menjadi bagian dari hidup kita. Safety harus menjadi way of life.*****
*) Artikel ini pernah dimuat di majalah Isafety edisi No 07/TAHUN VII/2019 dengan judul “Sudah Saatnya Kita Punya Data K3 Nasional yang Komprehensif” dengan pewawancara dan penulis Hasanuddin.