JAKARTA, Indosafety – Penyidikan kasus kebakaran Gedung Utama Kejaksaan Agung (Kejagung) oleh Bareskrim Polri, berujung pada penetapan status tersangka terhadap 8 orang dari 12 saksi yang sebelumnya diperiksa secara intensif.
Lima tersangka yang berinisial T, H, S, K, dan IS, berprofesi sebagai pekerja (kuli) bangunan. Kelimanya ditetapkan sebagai tersangka lantaran merokok saat melakukan pekerjaan renovasi di gedung Kejagung yang terbakar.
Sisa pembakaran rokok (puntung) itu lah yang menjadi pemicu utama terjadinya kebakaran yang meludeskan Gedung Utama Kejagung pada Sabtu (22/8/2020). Polisi juga menetapkan mandor para kuli bangunan tersebut yang berinisial UAM sebagai tersangka. Sebab, mandor itu seharusnya mengawasi para pekerja bangunan melaksanakan pekerjaannya.
Dua tersangka lainnya adalah Direktur Utama PT APM berinisial R dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dari Kejagung dengan inisial NH. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka terkait perjanjian pengadaan pembersih lantai merek TOP Cleaner yang digunakan di gedung tersebut. Menurut polisi, pembersih lantai tersebut mengandung zat yang mempercepat penjalaran api.
Baca juga : Siapa Tersangka Kebakaran Gedung Kejakgung?
Pihak kepolisian menjerat para tersangka dengan Pasal 188 KUHP jo Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP dengan ancaman kurungan penjara paling lama lima tahun. Pasal 188 KUHP mengatur soal kelalaian yang menyebabkan terjadinya kebakaran. Sedangkan Pasal 55 KUHP mengatur tentang ‘turut melakukan’ dan Pasal 56 tentang ‘membantu melakukan.’
Pasal 188 KUHP diterapkan karena berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan, pihak kepolisian menemukan fakta bahwa kasus kebakaran yang meludeskan Gedung Utama Kejagung disebabkan oleh adanya unsur kelalaian.
Yaitu membuang puntung rokok sembarangan yang dilakukan para pekerja bangunan yang tengah melakukan pekerjaan renovasi aula Biro Kepegawaian di lantai 6. Puntung rokok itulah yang kemudian disimpulkan sebagai pemicu terjadinya kebakaran.
“Para tukang (pekerja bangunan, red) yang merokok membuang puntungnya secara sembarangan. Mereka merokok di ruangan tempat bekerja di mana pekerjaan-pekerjaan tersebut memiliki bahan-bahan yang mudah terbakar, seperti tiner, lem aibon, dan beberapa bahan-bahan yang mudah terbakar lainnya,” kata Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen (Pol) Ferdy Sambo saat konferensi pers di Gedung Bareskrim, Jakarta Selatan, Jumat (23/10/2020).
Tak Semata Kesalahan Pekerja Bangunan
Ketika dimintai pendapatnya tentang hasil penyidikan Bareskrim Polri yang bermuara pada penetapan 8 tersangka dalam kasus kebakaran Gedung Utama Kejagung, pakar forensik api Dr Ir Adrianus Pangaribuan, MT, CFEI, mengapresiasi langkah kepolisian.
Hanya saja, Adrianus tegas menyatakan bahwa pihak kepolisian tidak cukup menimpakan kesalahan hanya kepada mereka yang lalai yaitu 5 pekerja dan seorang mandor plus dua tersangka lain terkait pengadaan pembersih lantai.
Baca juga : Polisi Harus Bisa Membuktikan Kebakaran Kejakgung Karena ‘Open Flame’
“Namun ketidakmampuan bangunan itu sendiri yang tidak bisa menghambat pertumbuhan, penyebaran dan perambatan api dalam gedung karena faktor kesalahan rancangan, perencanaan dan pengelolaan bangunan, juga adalah suatu kelalaian. Baik perencana bangunan, pelaksana pembangunan dan pengelola bangunan termasuk yang harus menanggung akibat kelalaian tersebut,” kata Adrianus kepada Indosafety.id, Minggu (25/10/2020).
Adrianus menjelaskan, kelalaian dalam kasus kebakaran terjadi karena dua hal. Yaitu terjadi karena ketidaktahuan akibat pengetahuan yang tidak cukup dari pelaku (negligent) dan terjadi karena ketidakpedulian (ignorance). “Nah ini yang harus didalami oleh pihak kepolisian.”
Adrianus kemudian menyebut regulasi Permen PU No 26/PRT/M/2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan sebagai dasar untuk menelusuri lebih jauh tentang unsur kelalaian dimaksud. Regulasi itu mengatur soal sistem proteksi kebakaran aktif dan pasif.
Sistem proteksi kebakaran pasif menyangkut kemampuan bangunan dalam hal penyebaran dan perambatan api. Yaitu terkait komponen struktur bangunan, penggunaan material, kompartemenisasi atau pemisahan bangunan/ruangan berdasarkan tingkat ketahanan api (TKA), serta perlindungan terhadap bukaan. Misalnya tentang pintu dan jendela tahan api, bahan pelapis interior tahan api, partisi penghalang asap, dan sebagainya.
Sedangkan sistem proteksi kebakaran aktif merupakan alat ataupun instalasi yang disiapkan untuk mendeteksi dan atau memadamkan kebakaran. Antara lain : detektor (asap, api maupun panas), alarm kebakaran otomatis/manual, tabung pemadam/APAR (Alat Pemadam Api Ringan), sistem hidran, springkler, dsb.
Jadi, kata Adrianus, suatu gedung harus dilengkapi fire detection (pendeteksi api), fire prevention (pencegahan api), fire protection (proteksi terhadap api) dan firefighting (pemadaman api) dan setiap bangunan harus menyesuaikan sesuai dengan peraturannya. “Bagaimana dengan Gedung Utama Kejagung yang terbakar habis itu?” kata Adrianus penuh tanya. (Hasanuddin)