Bencana hanya mendatangkan kerugian amat besar. Tak hanya manusia, tetapi multidimensi. Guna meminimalisir dampak bencana, sudah saatnya menerapkan business continuity management (BCM).
JAKARTA, Indosafety.id – BENCANA yang terjadi di Indonesia terus menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun. Bukan saja soal kuantitas, tetapi dampak yang ditimbulkannya pun luar biasa besarnya. Soal korban jiwa manusia, misalnya, dari 304 orang pada 2008 menjadi 4.231 orang di tahun 2018. Dan, 2018 menjadi tahun paling mematikan dalam bencana di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir.
Berapa banyak anak yang kehilangan ayah, Ibu, nenek, kakek, bibi, pamannya? Berapa banyak orangtua yang kehilangan anaknya? Berapa banyak yang kehilangan sanak famili? Berapa banyak keluarga yang kehilangan sosok tulang punggungnya?
Secara sosial ekonomi, bencana hanya medorong terjadinya peningkatan angka pengangguran, kemiskinan, dan laju inflasi akibat melonjaknya harga barang-barang kebutuhan. Bencana juga hanya membuat mandeg atau bahkan tergerusnya tingkat pertumbuhan ekonomi negara. Secara hitung-hitungan, data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut, dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia mengalami kerugian rata-rata Rp30 triliun/tahun akibat bencana.
“Bencana bisa mengakibatkan kerugian materi yang sangat besar, meningkatkan angka pengangguran, meningkatkan angka kemiskinan, kerusakan bahkan kehancuran aneka infrastruktur, proses recovery yang membutuhkan waktu cukup lama, dan tentu saja korban jiwa manusia yang tidak sedikit,” kata Prof Fatma Lestari, PhD, Direktur Pusat Riset dan Respons Bencana (Disaster Research and Response Center) Universitas Indonesia.
Mengutip informasi yang diterimanya dari Bappenas, Prof Fatma mengatakan bahwa dampak bencana tahun 2018 antara lain pertumbuhan ekonomi nasional minus 1,5%, inflasi 7,23%, pengangguran 180 ribu orang, meningkatnya angka kemiskinan hingga 15%, dan estimasi kerugian sekitar Rp8,29 triliun.
Dampak Ekonomi Bencana 2018 1. Economic growth minus 1,5% 2. Inflasi: a. Tanpa bencana : 3,7% b. Dengan adanya Bencana : 7,25% 3. Jobless (pengangguran) : 180.000 org 4. Meningkatkan kemiskinan hingga 15% 5. Estimasi kerugian : Rp8,29 triliun |
Business Continuity Management (BCM)
Menurut Ketua Unit Pelayanan Teknis Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan (UPT K3L) UI ini, bencana tak melulu dipicu oleh alam seperti hidrometeorologi dan geologis. Tetapi juga dari aktivitas industri. Prof Fatma mencontohkan kasus kebakaran yang terjadi di pelabuhan Tianjin, China dan banjir di Filipina pada tahun 2015 lalu. Bencana kebakaran di Tianjin dan banjir Filipina, katanya, telah mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi negara masing-masing.
Sekadar membuka catatan, kebakaran di pelabuhan Tianjin, China, terjadi pada Rabu (12/8/2015). Kala itu, di pelabuhan tersebut diparkir ribuan unit mobil mewah Jaguar baru, yang baru tiba dari pabrikannya di Inggris. Harga satu unit mobil Jaguar baru mencapai lebih dari Rp1 miliar. Bahkan ada yang berharga Rp2,7 miliar/unit.
Bencana Tianjin membuat saham Tata Motors (pemilik baru Jaguar asal India) di bursa saham Mumbai, India pun langsung rontok 2,72%. Tak hanya Jaguar, kala itu juga tengah diparkir ribuan unit mobil baru asal Eropa lainnya, Renault asal Eropa dan Volks Wagen (VW) asal Jerman.
“Bencana tak hanya berasal dari peristiwa alam. Aktivitas industri atau perusahaan juga bisa menimbulkan bencana. Peristiwa Tianjin butuh waktu lama untuk membangunnya kembali (proses recovery), tetapi butuh waktu amat singkat untuk menghancurkannya. Di sinilah pentingnya manajemen bencana demi bisnis yang berkelanjutan (business continuity management/BCM, red),” kata Prof Fatma.
Menurut Sarjana Kimia jebolan UI ini, selain manajemen reduksi risiko bencana (Disaster Risk Reduction/DRR), perlu dibangun business continuity management (BCM) di seluruh wilayah Indonesia. Pemerintah, masyarakat, dan perusahaan atau industri harus berani berinvestasi di manajemen DRR berupa BCM.
Prof Fatma mencontohkan dunia perbankan Indonesia yang sudah mulai menerapkan BCM. Ketika terjadi bencana, mereka sudah bisa ‘up’ atau memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam waktu singkat. “Saya kira BCM perlu diterapkan di hal-hal critical lain. Misalnya soal listrik, air, transportasi, BBM, telekomunikasi, dsb. Jadi, ketika terjadi bencana, sudah bisa langsung memberikan layanan kepada masyarakat,” kata Prof Fatma.
Sejauh ini baru perbankan yang sudah mulai menerapkan BCM. Itu pun, kata Fatma, belum semua perbankan. Di industri migas sudah diterapkan sebagai upaya ketahanan migas nasional. Sebagian industri pertambangan juga sudah mulai menerapkan BCM.
Di sektor air, baru PDAM DKI Jakarta. Lainnya belum. “Jika aliran air di Jakarta Timur terganggu misalnya, maka akan langsung diback-up oleh wilayah lainnya yang terdekat. Jadi gak ada istilah putus air.”
Mengingat Indonesia sebagai negara rawan bencana, Prof Fatma mengimbau agar BCM tak hanya diterapkan di kalangan industri semata. Tetapi juga di kalangan instansi pemerintahan, seperti halnya sudah diterapkan PDAM di kota Jakarta. Sebab, kata Prof Fatma, BCM tak sekadar terkait keberlangsungan usaha namun multidimensi.
Dalam hal bencana yang menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun di Indonesia, Prof Fatma mengimbau agar Indonesia harus meningkatkan sistem peringatan dini (early warning system) dengan bantuan teknologi. Mulai dari penggunaan Artificial Intelligent (AI), drone, sensor-sensor yang akurat (suhu, konsentrasi gas, dsb).
“Kalaupun sekarang sudah menggunakan Artificial Intelligent, itu sudah bagus banget. Tapi menurut saya perlu ditingkatkan lagi supaya tingkat ketelitiannya menjadi lebih baik. Misalnya saja dengan menaruh sensor-sensor yang berkaitan dengan letusan gunung api. Sensor-sensor tersebut bisa mendeteksi perubahan temperatur, perubahan konsentrasi gas, dll,” katanya.
Juga pengamatan dengan memanfaatkan teknologi-teknologi canggih; dari udara, dari permukaan air hingga dari kedalaman laut. Walaupun di negara-negara lain belum ada, Indonesia mesti proaktif untuk memulainya. Apalagi Indonesia merupakan negara yang rawan bencana. Selama ini pendekatan penanganan bencana lebih ke arah reaktif. Begitu ada bencana, ada tindakan, dan baru tersadar. “Kalau kita sudah tahu di situ ada risikonya, ya disiapkan.”
Lalu penyampaian informasi kepada masyarakat supaya bisa dilakukan secara lebih cepat dan massif. Di Jepang misalnya, begitu terjadi gempa, maka secara otomatis langsung masuk ke HP masyarakat. Jadi masyarakat bisa mengetahui informasi terjadinya gempa secara real time tanpa adanya delay sehingga bisa melakukan berbagai upaya antisipasinya.
Kepada masyarakat, Prof Fatma juga mengimbau, pertama agar menggunakan materi-materi edukasi bencana yang selama ini rutin dikeluarkan pemerintah. Kedua, install aplikasi-aplikasi terkait informasi bencana dari BMKG, BNPB, dan sebagainya. (Hasanuddin)