Penganan ringan yang dijajakan di sekolah-sekolah, banyak yang mengandung bahan kimia berbahaya seperti pewarna tekstil, boraks, dan formalin. Orangtua diminta lebih bijak dengan memperhatikan jajanan yang dikonsumsi anak-anak.
INDOSAFETY.id – PENGANAN ringan yang dijajakan di sekolah-sekolah, utamanya SD dan SMP, tak selamanya menyehatkan. Banyak di antaranya malah mengandung bahan kimia yang berbahaya apabila dikonsumsi secara terus-menerus.
Setidaknya, inilah hasil temuan yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) DKI Jakarta saat melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke beberapa SDN di Jakarta Timur, belum lama ini.
Dalam sidak itu, BPOM berkoordinasi dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Mereka mengambil sampel jajanan yang dijual di kantin sekolah-sekolah, yang diduga mengandung bahan berbahaya seperti formalin, boraks, methanil yellow (pewarna tekstil kuning), dan rhodamin B (pewarna tekstil merah).
Hasilnya, di tiga SD tidak ditemukan jajanan yang mengandung bahan berbahaya. Tapi, tiba-tiba ada seorang siswi kelas III sebuah SDN di Rawamangun, bernama Tiara yang melaporkan penemuan makanan jenis puding yang baru saja dibelinya di kantin SMP, kepada petugas BPOM yang baru saja selesai mengecek sampel.
Kepada petugas, Tiara mengeluhkan rasa puding seharga Rp2 ribu tersebut, yang dinilainya cukup aneh karena terasa pahit. “Tadi aku beli puding di kantin SMP. Itu baru datang. Pas aku rasain, kok agak pahit. Jadi aku bawa ke sini (petugas BPOM),” kata Tiara.
Tiara pun meminta petugas memeriksa kandungan puding tersebut, karena merasa ada yang aneh dengan rasanya. Dan setelah dilakukan pemeriksaan, benar ternyata petugas BPOM menemukan bahwa puding itu mengandung methanil yellow. Penemuan itu langsung menjadi catatan BPOM guna ditindaklanjuti.
“Ini baru saja diserahkan oleh adik kita. Hasilnya positif mengandung methanil yellow. Puding ini sesungguhnya pink, bukan kuning. Ini dicampur sedikit methanil di bagian tengah, jadi tak terlihat secara kasat mata. Mengonsumsi methanil yellow terus menerus dapat mengakibatkan penyakit, termasuk kerusakan pada hati,” kata seorang petugas dari BPOM.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, pihaknya memang lebih berfokus untuk memantau jajanan anak SD. Sebab, kata dia, SD merupakan tahap awal anak-anak jajan sembarangan. Sedangkan untuk di lingkungan SMP atau SMA, dia menilai seharusnya para siswanya sudah mulai selektif dalam membeli jajanan yang hendak dikonsumsi.
“Kami memang fokus ke SD. Kalau TK biasanya masih dibekali makan. Kalau SD itu biasanya sudah minta jajan. Karena itu kita konsentrasi pada kantin SD, karena awal mengenal jajanan ada di SD. Kalau SMP dan SMA mereka sudah memiliki daya beli dan seharusnya sudah bisa memilih makanan yang berbahaya dan tidak,” katanya.
Sementara untuk pengawasan pedagang makanan yang berjualan di luar lingkungan sekolah, Dewi mengaku belum bisa mengawasi, karena pelaksanaannya jauh lebih sulit ketimbang yang berada di dalam sekolah. Karena itu, dia mengingatkan peran pemerintah daerah juga sangat diperlukan, untuk mendata dan membina PKL yang berjualan.
“Untuk pedagang yang ada di luar sekolah itu, pendataannya belum ada. Perlu ekstra hati-hati dan kerja keras bagi pemerintah daerah karena mereka berpindah. Saat dia di depan sekolah, kita beri sosialisasi, tapi besok belum tentu berdagang di lokasi yang sama. Kita beri solusi untuk pedagang prioritas.”
Peran Orangtua dan Sekolah
Dihubungi terpisah, Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengimbau kepada para orangtua dan juga pihak sekolah, bahwa pemenuhan hak anak tidak hanya dalam bidang pendidikan, tapi kesehatan anak juga harus diperhatikan. Dan makanan merupakan kebutuhan dasar bagi anak-anak, untuk dapat beraktvitas termasuk belajar.
“Sekolah tidak bisa hanya menyalurkan ilmu saja, atau hanya sebatas di kelas saja. Sekolah juga harus memastikan makanan yang ada sekolah layak dikonsumsi oleh anak-anak. Tentu tak akan efektif kegiatan belajar mengajar, apabila anak didik yang diajarkan justru sakit. Bagaimana bisa orang disuruh belajar tapi dia sakit,” katanya.
Arist meminta kepada pihak sekolah, agar punya regulasi yang ketat soal bahan makanan yang boleh dijual di sekolah. Menurutnya, sekolah perlu membina pedagang yang menyuplai jajanan ke sekolah, sehingga pedagang memperhatikan bahan dan mutu jajanan, tak sekadar menjual makanan yang warnanya memikat.
“Kalau mutu makanan sekolah baik, tingkat kecerdasan dan kesehatan siswa menjadi terjamin. Oleh karena itu, pihak sekolah juga jangan menjadi menara gading yang tak peduli dengan urusan di luar pendidikan. Anak-anak didik mempunyai hak untuk hidup sehat,” tegasnya. (Hasanuddin)