JAKARTA, Indosafety.id – Pihak kepolisian dari Bareskrim Polri harus bisa membuktikan apabila kebakaran Gedung Utama Kejaksaan Agung (Kejagung) bukan karena hubungan pendek arus listrik (korsleting) tetapi karena open flame (api terbuka). Sebab, open flame adalah akibat dari berbagai faktor penyebab.
Demikian dikatakan pakar forensik api Dr Ir Adrianus Pangaribuan, MT, CFEI, ketika dimintai pendapatnya mengenai kesimpulan hasil penyelidikan Polri atas kasus kebakaran Gedung Utama Kejagung bahwa kebakaran bukan disebabkan oleh hubungan pendek arus listrik melainkan karena nyala api terbuka (open flame).
“Dari hasil olah tempat kejadian perkara, Puslabfor menyimpulkan sumber api bukan karena hubungan arus pendek, namun diduga karena nyala api terbuka atau open flame,” kata Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo di Mabes Polri, Kamis (17/9/2020).
Baca juga : Kebakaran Gedung Kejakgung Masuk Ranah Pidana
Atas dasar itu, pihak kepolisian meningkatkan status penyelidikan kasus kebakaran Gedung Utama Kejagung ke tahap penyidikan. Penyidik dari Bareskrim Polri bahkan sudah menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) dan pemeriksaan terhadap 12 saksi mulai dilakukan pada Senin (21/9/2020).
Menurut Adrianus, jika dinyatakan bahwa penyebabnya bukan hubungan pendek arus listrik harus ada buktinya secara ilmiah dan bisa diterima semua pihak. Sedangkan kalau disebut open flame atau api terbuka sebagai penyebab kebakaran harus kita lihat apa yang menyebabkan api terbuka tersebut dan harus dievaluasi secara ilmiah.
“Open flame adalah akibatnya. Harus ditemukan apa yang menyebabkan terjadinya open flame. Ada banyak penyebab open flame yang bahkan bisa terjadi tanpa ada sebab musabab yang jelas. Tiba-tiba sudah jadi api, misalnya spontaneous combustion atau self ignition, namun hal ini bisa dibuktikan secara ilmiah. Tergantung di lingkungan seperti apa open flame tersebut terbentuk,” kata Adrianus kepada Indosafety.id, Rabu (23/9/2020).
Ditanya soal kesimpulan Polri tentang ditemukannya unsur pidana dan penerapan Pasal 187 (kesengajaan) dan Pasal 188 (kelalaian) KUHP dalam kasus kebakaran Gedung Utama Kejagung sebagaimana diungkapkan Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo, Adrianus menilai bahwa langkah kepolisian itu memang sesuai tugas dan kewenangan Polri.
Baca juga : Kecepatan Perambatan Api di Gedung Kejakgung Dipicu 2 Hal Ini
“Memang tugas kepolisian untuk menentukan apakah suatu kejadian ada unsur kesengajaan atau kelalaian. Di sana Polisi harus hadir. Jika hasil penyidikan kemudian menemukan adanya unsur kesengajaan atau ada yang sengaja melakukan pembakaran (arson), maka pelaku harus diadili,” kata Adrianus.
Namun, Adrianus mengingatkan, jika unsur kelalaian lebih terpenuhi, penyidik Bareskrim Polri harus melihat lagi sejauh mana kelalaian yang dilakukan. Apakah terjadi karena ketidaktahuan akibat pengetahuan yang tidak cukup dari pelaku (negligent) atau karena ketidakpedulian (ignorance).
Adrianus kemudian menyebut regulasi Permen PU No 26/PRT/M/2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan sebagai dasar untuk menelusuri lebih jauh tentang unsur kelalaian dimaksud. Regulasi itu mengatur soal sistem proteksi kebakaran aktif dan pasif.
Baca juga : Ini Penjelasan Pakar Forensik Api Soal Kebakaran Gedung Kejakgung
Dalam kasus kebakaran Gedung Utama Kejagung, jika kemudian terbukti bahwa bangunan yang terbakar itu tidak memiliki kemampuan dalam memproteksi kebakaran, maka kasus kebakaran yang terjadi tidak bisa semata-mata dikategorikan sebagai kelalaian.
“Katakanlah terjadi kelalaian seseorang yang kemudian menyebabkan terjadinya suatu kebakaran, apapun bentuk lalainya (negligent atau ignorance). Namun ketidakmampuan bangunan tersebut untuk tidak menyebarkan dan merambatkan api, tidak bisa semata–mata dikategorikan akibat kelalaian,” Adrianus menegaskan.
Karena itu menurut Adrianus, dalam kasus kebakaran Gedung Utama Kejagung, pihak kepolisian tidak cukup menimpakan kesalahan hanya pada mereka yang lalai. Namun ketidakmampuan bangunan karena tidak bisa menghambat penyebaran dan perambatan api dalam gedung karena faktor kesalahan rancangan, perencanaan dan pengelolaan bangunan, juga termasuk yang harus menanggung akibat kelalaian tersebut. (Hasanuddin)