Kebakaran tidaklah mutlak musibah. Kecuali karena sambaran petir, kebakaran sesungguhnya adalah sebuah peristiwa yang terjadi akibat kelalaian dan kecerobohan manusia. Karenanya, kebakaran bisa diantisipasi dan dihindarkan. Caranya?
JAKARTA, Indosafety.id – CARANYA tentu beraneka ragam. Mulai dari yang sederhana seperti berperilaku hidup tertib dan selalu menjaga kebersihan di rumah, hingga yang rumit dan membutuhkan biaya tak sedikit seperti di perusahaan-perusahaan.
Sebagaimana dikatakan Dr Ghazmahadi, mantan Kasubdit Bangunan dan Listrik yang kini menjabat sebagai Direktur Pengawasan dan Norma Keselamatan Kesehatan Kerja (PNK3) Ditjen Binwasnaker dan K3 Kementerian Ketenagakerjaan, mencegah kebakaran harus berawal dari diri sendiri.
Perilaku yang tertib dan disiplin serta peduli akan kondisi di sekelilingnya, tentu akan terhindar dari segala bahaya, termasuk kebakaran. “Sebaliknya, perilaku ceroboh, urakan, dan sebagainya, akan dekat dengan bahaya kebakaran,” kata Ghazmahadi.
Ghazmahadi memberikan beberapa contoh sederhana dari perilaku ceroboh sebagian masyarakat yang berpotensi terjadinya kebakaran di tempat tinggalnya. Di antaranya menumpuk colokan aneka peralatan listrik dalam satu terminal, kabel-kabel beraliran listrik dibiarkan berserakan begitu saja di lantai rumah, menggunakan kabel listrik yang bukan peruntukkannya, meninggalkan kompor gas dalam keadaan menyala, dan masih banyak lagi.
Dikatakan, kasus-kasus kebakaran yang selama ini terjadi di Indonesia, terutama di kota-kota besar, didominasi oleh adanya hubungan arus pendek listrik (korslet). Sebagian besar terjadi di pemukiman padat penduduk.
Baca juga : Bahaya Keselamatan & Kesehatan Obat Nyamuk Bakar
“Di kota Jakarta, setiap tahunnya rata-rata terjadi 1.000 kasus kebakaran atau 2 – 4 kebakaran setiap hari. Sebagian besar disebabkan oleh adanya hubungan pendek arus listrik. Tidak saja terjadi di pemukiman, tapi juga di gedung-gedung,” katanya.
Tak sedikit pula yang disebabkan oleh kompor gas. Nah, untuk yang satu ini, Ghazmahadi mengatakan bahwa masyarakat seringkali meninggalkan rumah tanpa mencopot regulator pada tabung gas. Tindakan mematikan kompor saja tidak lah cukup. Sebab aliran gas dari tabung gas ke kompor melalui selang masih ada.
“Dengan mematikan kompor, masyarakat merasa sudah aman. Tapi sebetulnya tidak. Tindakan yang paling aman adalah mencabut regulator pada tabung gas.”
Fire Safety Management (FSM)
Kobaran api pada peristiwa kebakaran, tidak serta merta ada. Kebakaran terjadi karena ada sumber api (panas), oksigen, dan bahan bakar atau yang dikenal dengan istilah Segitiga Api.
“Itu sebabnya mengapa tidak pernah ada kasus kebakaran yang terjadi di dalam air, karena api butuh oksigen untuk bisa menyala,” kata Prof Dr Ir Suprapto, MSc, FPE, IPM, Spesialis Proteksi Kebakaran dan Fisika Bangunan dari Puslitbang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR).
Suprapto menyebut ada empat sumber penyulut kebakaran. Yaitu Mekanikal (gesekan/friksi, kompresi), Elektrikal (tahanan/busur listrik, listrik statis, dan petir), Kimia (pembakaran/combustion, dekomposisi, pembakaran spontan, pelarutan), dan Nuklir (fision/memecah, fusion/gabung).
Baca juga: Kebakaran, Ancaman Nyata Warga Jakarta
Pria berkacamata ini mengimbau agar masyarakat harus selalu mengetahui aneka potensi bahaya terjadinya kebakaran, baik kebakaran ringan, sedang, maupun berat. Potensi bahaya kebakaran dimaksud Suprapto di antaranya merokok, kebersihan tempat kerja, peralatan penimbul panas, kelistrikan, cairan mudah terbakar/menyala, gas-gas mudah menyala, pengelasan/pemotongan, permesinan dan proses, dan tindakan kesengajaan.
Intinya, kata Suprapto, kebakaran bisa dicegah dan dikendalikan. “Kebakaran di gedung sebenarnya bisa dicegah dan dikendalikan. Caranya, menerapkan fire safety management (FSM) saat proses pembangunan gedung,” kata Suprapto.
Suprapto memberikan contoh kasus kebakaran di karaoke M City, Medan, Sumatera Utara beberapa tahun lalu. Ruang karaoke, katanya, memang didisain kedap suara dengan melapisi dinding-dinding ruangannya dengan bahan yang sebenarnya justru mudah terbakar dan akan menghasilkan banyak asap apabila terbakar.
Kasus kebakaran di karaoke M City tersebut memberi gambaran bahwa si pemilik saat proses pembangunannya tidak secara rinci mengantisipasi kemungkinan terjadinya bahaya kebakaran alias tidak menerapkan FSM dengan baik dan benar.
Baca juga : Bahaya dan Kerugian Kebakaran
Begitu pula dengan pintu darurat (fire exit). Jumlah dan lebarnya harus memenuhi syarat, tidak terhalangi, ada penandaan dan penerangan pada exit, dan exit discharge harus menuju halaman luar.
Menurut Suprapto, sistem proteksi kebakaran harus dilakukan dengan memperhatikan basis potensi bahaya, yaitu potensi kemungkinan terjadinya bahaya kebakaran (ringan, sedang, dan berat). Sistem proteksi kebakaran mutlak dilakukan.
“Tujuannya menyelamatkan jiwa, keselamatan harta benda, keselamatan lingkungan, dan keselamatan dan keberlangsungan proses usaha (sustainable).”
Sistem Proteksi Kebakaran
Mirisnya, banyak gedung jangkung di Jakarta ternyata tak memiliki sistem proteksi kebakaran. Data dari Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyalamatan (DPKP) DKI Jakarta tahun 2015 menyebutkan, dari 829 gedung bertingkat di Jakarta sebanyak 129 di antaranya tidak memiliki sistem proteksi kebakaran (SPK) dengan baik.
Jumlah tersebut terdiri atas gedung perkantoran (75) baik pemerintah maupun swasta, apartemen (29), hotel (10), dan mal (1). Gedung lainnya seperti kampus, sekolah, stasiun televisi, rumah sakit sebanyak 10 gedung. Sedangkan gedung campuran seperti kantor gabung hotel, apartemen dan mal ada sebanyak 4 gedung.
Baca juga : Klasifikasi Kebakaran/Api
Padahal, UU No 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung mensyaratkan seluruh bangunan gedung, selain rumah tinggal, harus dilengkapi sistem proteksi aktif dan pasif.
Prof Suprapto menjelaskan, sistem proteksi kebakaran aktif terdiri atas tabung pemadam kebakaran (APAR), sistem deteksi dan alarm, sistem hidran/hose reel, sistem sprinkle otomatis, fire suppression system, mobil pemadam kebakaran, dll.
Sedangkan sistem proteksi kebakaran pasif terdiri atas struktur tahan api, membatasi pemakaian bahan mudah terbakar, jarak aman antar bangunan, sistem kompartemenisasi, perlindungan bukaan, sarana jalan ke luar, penunjuk arah, site planning for fire safety, dan akses petugas pemadam.
Dalam kasus gedung bertingkat di Jakarta yang tidak memiliki SPK dengan baik, pihak Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta pada Juni 2015 silam pernah menyegel dua gedung. Di gedung itu petugas menempelkan stiker bertuliskan ‘Gedung Ini Tidak Aman Kebakaran.’
Stiker dipasang terhadap dua gedung itu karena setelah dicek, ternyata alarm kebakaran mati dan pompanya tidak hidup. Padahal gedung itu sudah dilengkapi sistem alarm, hydrant, sprinkle, tangga kebakaran, dan smoke detector control.
Nah, apakah SPK di gedung tempat Anda bekerja berfungsi dengan baik? Dan apakah pemilik atau pengelola gedung tempat Anda bekerja atau berniaga selalu rutin melakukan pengecekan, penggantian apabila diketahui ada yang rusak, plus audit? (Hasanuddin)