JAKARTA, Indosafety.id – BAGI Indonesia, bencana adalah keniscayaan. Berada di atas tiga lempeng tektonik utama dunia, menjadikan Indonesia sebagai negara yang rawan bencana. Apalagi, sebagaimana data BNPB, nyaris seluruh warga Indonesia (258,2 juta jiwa) berada di area rawan bencana.
Tengok saja, 148,4 juta jiwa warganya berada di wilayah rawan gempabumi. Lalu 63,7 juta jiwa berada di area rawan banjir dan 40,9 juta jiwa berada di zona rawan tanah longsor. Sisanya, berada di wilayah rawan tsunami (5 juta) dan 1,2 juta jiwa lagi berada di area rawan erupsi gunung api.
Sejauh ini, data BNPB juga menyebut, lebih dari 90 persen bencana yang terjadi di Indonesia dipicu bencana hidrometeorologi semisal banjir, kekeringan, kebakaran lahan dan hutan (karhutla), tanah longsor, dan angin puting beliung. Sisanya disebabkan bencana geologis seperti gempabumi, tsunami, likuifaksi, dan erupsi gunung api.
Meski menempati porsi kecil, bencana geologis terbukti merupakan bencana amat mematikan di negeri ini. Lihat saja bagaimana trilogi bencana geologis (gempabumi-tsunami-likuifaksi) yang terjadi di Sulawesi Tengah (Palu dan Donggala) pada 28 September 2018. Lalu bencana tsunami di Selat Sunda yang terjadi di penghujung 2018.
Lesson Learned
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengingatkan tingginya potensi gempa bumi di Indonesia maka penting kiranya memperhatikan peta bahaya dan risiko bencana, sebelum merencanakan penataan ruang dan wilayah.
“Wilayah Indonesia terletak di zona tumbukan lempeng-lempeng tektonik aktif, maka wilayah Indonesia menjadi kawasan yang rawan gempabumi,” kata Dwikorita belum lama ini di Jakarta.
Karena itu, katanya perlu ada upaya serius dari berbagai pihak dalam memperketat penerapan building code dalam membangun struktur bangunan tahan gempa. Untuk bangunan yang sudah ada dan dihuni, perlu dicek kesehatan/kekuatan strukturnya.
Dia mengatakan Pemerintah Daerah perlu melakukan audit struktur bangunan dan infrastruktur di daerah rawan gempa. Apabila dinilai membahayakan, perlu diterapkan rekayasa teknis untuk penguatan struktur bangunan.
“Tingginya potensi gempabumi di wilayah Indonesia sepatutnya jangan sampai membuat masyarakat terus-menerus dicekam rasa takut dan khawatir berlebihan. Masyarakat harus terus meningkatkan kemampuan dalam memahami cara penyelamatan saat terjadi gempabumi,” tutur Dwikorita.
Menurut dia, perlu mengambil pelajaran (lesson learned) dari warga Jepang saat terjadi gempa Kobe 1995. BNPB menyampaikan bahwa Warga Kobe yang selamat dari bencana tersebut karena upaya pertolongan sendiri (34.9%), pertolongan keluarga (31.9%), pertolongan teman atau tetangga (28.0%), pertolongan pejalan kaki (2.6%), pertolongan oleh tim penyelamat (1.7%), dan pertolongan lainnya hanya (0.9%).
Dampak Bencana
Tentu saja bencana berpengaruh pada masyarakat yang terdampak. Tidak saja merenggut korban jiwa manusia yang tak sedikit, bencana juga memerosotkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Apalagi bagi masyarakat yang mengalami bencana secara berulang, seperti banjir di Dayeuhkolot, Baleendah dan sekitar Sungai Citarum, di mana banjir melanda masyarakat sekitar 10-15 kali setahun. Begitu juga bagi masyarakat di sekitar Sungai Bengawan Solo, Sungai Kemuning di Madura dan lainnya yang terlanda banjir berulang.
Lahan pertanian yang terendam banjir menyebabkan gagal panen. Petani menanam padi dengan modal utang, yang akhirnya tidak mampu membayar. Petani terpaksa utang lagi untuk modal menanam padi berikutnya. Begitu juga masyarakat yang terkena bencana, harta miliknya hilang sehingga jatuh miskin dan memerlukan bantuan.
Secara hitung-hitungan makro, BNPB mencatat, dalam beberapa tahun terakhir kerugian akibat bencana mencapai Rp30 triliun/tahun. Fantastis!
Sedangkan Bappenas melaporkan, bencana 2018 mengakibatkan pertumbuhan ekonomi melambat (minus) 1,5% dan meningkatkan laju inflasi dari 3,7% menjadi 7,25%. Lalu membuat sekitar 180 ribu orang menjadi pengangguran (jobless) dan mendongkrak angka kemiskinan baru sebesar 15%.
Sungguh bukan sekadar data statistik di atas kertas. Bencana amat merugikan. Segala peta bencana sudah lama dibuat, dianalisis, dan dipublikasikan para ahli. Tetapi, kita seolah tak mau belajar dari kesalahan. Sama sekali tak ada lesson learned sehingga bencana terjadi secara berulang di satu wilayah dengan kerugian yang juga sama.
Bencana bukan cuma urusan BNPB, Kementerian Sosial, atau pihak tertentu. Tetapi urusan kita semua. Sudah saatnya kita semua peduli. Mulailah dengan langkah kecil, misalnya, tidak membuang sampah sembarangan apalagi ke sungai atau laut dan tidak mendirikan bangunan di area hijau. Salam Safety. (Hasanuddin)