JAKARTA, Indosafety.id – Kasus kecelakaan kerja (KK) dan penyakit akibat kerja (PAK) yang terjadi di Indonesia cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dalam hal jumlah kasus (frequency rate) maupun tingkat keparahan (severity rate).
Namun demikian, data kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang tercatat, sebagaimana data BPJS Ketenagakerjaan, masih sangat sedikit dibandingkan kemungkinan potensi yang ada. “Ini karena masih rendahnya tingkat pelaporan K3,” kata Dr Sudi Astono, MS dari Dit PNK3, Ditjen Binwasnaker dan K3, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
Secara regulasi sebenarnya sudah banyak peraturan yang dikeluarkan soal pencatatan dan pelaporan PAK. Ada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) No 1 tahun 1981 tentang Kewajiban Melaporkan Penyakit Akibat Kerja.
Lalu ada Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No 03/MEN/1998 tentang Tatacara Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 56 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja. Teranyar adalah Perpres No 7 Tahun 2019 tentang Penyakit Akibat Kerja.
Berbagai regulasi itu seragam menyatakan bahwa pencatatan dan pelaporan PAK merupakan kewajiban yang harus dilakukan perusahaan. Permenakertrans No 1/1981 bahkan menyebutkan soal ancaman sanksi hukum kepada mereka yang tidak melaporkan PAK, dengan merujuk ancaman sanksi hukum sebagaimana diatur dalam UU No 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
Tetapi kenapa laporan PAK sedikit?
“Kalau dokternya tidak melapor dan perusahaan tidak melaporkan, maka pengawas ketenagakerjaan kan tidak tahu. Apalagi jika pengawasnya bukan berlatarbelakang pendidikan medis. (Pengawas ketenagakerjaan) Kebanyakan sarjana hukum, sarjana teknik, dsb, sedangkan yang berlatarbelakang medis jumlahnya sangat sedikit. Maka ketika bertugas melakukan pengawasan ke perusahaan, mereka tidak banyak menemukan kasus PAK. PAK tidak akan terlihat secara seketika seperti halnya kecelakaan kerja,” Sudi menjelaskan. (Hasanuddin)