JAKARTA, Indosafety.id – Data tentang Penyakit Akibat Kerja (PAK) di Indonesia tak seterang-benderang data Kecelakaan Kerja (KK). Dalam satu tahun, kasus PAK yang terdata hanya 25 kasus. Itu pun kasus PAK yang terdata di BPJS Ketenagakerjaan.
Lantas, mengapa hal ini bisa terjadi? Dr Sudi Astono, MS dari Direktorat Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja (PNK3) Kementerian Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga faktor yang menjadi penyebabnya.
Pertama, PAK memiliki karakteristik yang berbeda dengan kecelakaan kerja dalam hal proses kejadian dan penentuannya. Kecelakaan yang dialami pekerja di tempat kerja yang terjadi pada saat itu, maka saat itu juga bisa langsung diketahui dan dipastikan bahwa peristiwa tersebut merupakan kecelakaan kerja. Jika pekerja tersebut merupakan peserta program JKK, maka saat itu juga bisa mengajukan klaim asuransi kepada BPJS Ketenagakerjaan untuk mendapatkan kompensasi.
Berbeda dengan PAK. Untuk menentukan dan memastikan bahwa seorang pekerja mengalami PAK diperlukan waktu yang relatif jauh lebih lama dibanding kasus kecelakaan kerja. Prosesnya pun tidak bisa dilakukan seketika dan tidak sesederhana kasus kecelakaan kerja.
Menurut Sudi, proses yang membutuhkan waktu lama dalam penentuan PAK itu terjadi di dua sisi yaitu aspek kondisi kesehatan si pekerja dan aspek yang menyangkut tindakan medis berupa diagnosa dan tata laksana PAK.
Dari sisi pekerja, sakit yang diderita si pekerja tidak terjadi atau timbul secara langsung atau seketika. Bahkan tak jarang, seseorang mengalami sakit yang tergolong parah justru dialami ketika dia sudah tidak bekerja lagi, bisa karena pindah kerja maupun pensiun.
“Prosesnya itu terjadi melalui adanya bahan-bahan yang membahayakan kesehatan yang masuk ke dalam tubuh secara pelan-pelan dan sedikit-sedikit. Contoh menghirup gas beracun, menghirup debu, atau radiasi. Gangguan kesehatan itu akan dialaminya beberapa waktu kemudian setelah ia secara terus-menerus menghirup debu di tempatnya bekerja. Timbulnya penyakitnya itu sendiri butuh proses waktu,” kata Sudi.
Sedangkan dari aspek yang menyangkut tindakan medis, penentuan PAK tidak semudah penentuan kecelakaan kerja. Ada sejumlah tahapan yang harus dilakukan, mulai dari diagnosis PAK dari pekerja bersangkutan hingga melakukan kajian, baik secara medis maupun sosial.
“Menentukan diagnosis PAK lebih sulit dan kompleks dibanding kecelakaan kerja. Timbulnya penyakitnya itu sendiri butuh proses waktu, dan untuk menyatakan PAK harus didukung oleh data-data yang komprehensif terkait pekerjaan dan aktivitas kerja yang dilakukan pekerja yang didiagnosis terkena PAK,” Sudi menambahkan.
Kedua, menyangkut siapa yang bisa menentukan dan memastikan telah terjadi PAK. “Yang bisa menentukan PAK hanya dokter. Itu pun tidak semua dokter yang bisa menyatakan atau menentukan PAK. Harus dokter yang berkompeten di bidang kesehatan kerja atau dokter yang paham tentang K3. Beda dengan kecelakaan kerja yang langsung bisa diketahui.”
Ketiga, sambung Sudi, PAK dianggap sebagai sebuah aib yang bisa merusak citra perusahaan. Pihak perusahaan akan merasa khawatir citra perusahaannya tercoreng jika terdapat karyawannya terkena PAK. Kekhawatiran itu muncul karena akan dinilai sebagai perusahaan yang tidak bisa melindungi pekerjanya sendiri.
Kekhawatiran juga datang dari dokter perusahaan. Ia takut dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja apabila melaporkan terjadinya PAK kepada pimpinan perusahaan. Kekhawatiran dan ketakutan akan kehilangan pekerjaan ini lah yang kemudian menjadi alasan bagi dokter perusahaan untuk tidak menindaklanjuti dugaan terjadinya PAK yang menimpa pekerja.
Kekhawatiran para dokter perusahaan akan kehilangan pekerjaan ini diperoleh Sudi dalam forum pertemuan dengan dokter-dokter perusahaan.
“Saya kan seorang dokter yang kebetulan bekerja di Kementerian Ketenagakerjaan. Kekhawatiran dokter perusahaan bahwa dirinya terancam dipecat oleh manajemen perusahaan tempatnya bekerja itu saya peroleh dalam forum pertemuan dengan dokter-dokter perusahaan. Dalam forum itu biasanya ada dokter yang bercerita pengalamannya menjadi dokter perusahaan. Antara lain cerita soal PAK. Jadi, dokter-dokter perusahaan yang curhat kepada saya bahwa ia terancam kena sanksi berupa pemecatan jika melaporkan terjadinya PAK kepada pimpinan perusahaan. Apalagi jika status kerja dokter di perusahaan itu hanya sebagai karyawan kontrak. Dokter juga kan perlu penghasilan supaya dapurnya bisa ngebul,” papar Sudi.
Tak hanya pihak perusahaan dan dokter perusahaan yang diliputi rasa khawatir. Pekerja pun sama khawatirnya akan dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja apabila sakit yang tengah dideritanya terdiagnosa PAK dan menuntut kompensasi kepada perusahaan.
Bukannya uang kompensasi yang didapat, tapi statusnya sebagai karyawan justru bakal terancam. Jadi, dari mana dan di simpul mana benang kusut ini harus diurai terlebih dahulu? (Hasanuddin)