JAKARTA, IndoSafety.id – EKO DARWANTO sempat tertegun ketika seorang pengusaha perkebunan menanyakan kepada dirinya tentang manfaat apa yang didapat apabila mendaftarkan para pekerjanya sebagai anggota peserta BPJS Ketenagakerjaan, terutama program layanan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Eko sempat keheranan sebab perusahaan perkebunan itu terbilang besar dan mempekerjakan banyak tenaga kerja serta beromset besar.
Anggota Dewan Pengawas (Dewas) BPJS Ketenagakerjaan ini lalu menjelaskannya. Bahwa BPJS Ketenagakerjaan hadir untuk melindungi setiap pekerja di Indonesia dari risiko keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang kemungkinan terjadi di tempatnya bekerja. Usaha perkebunan, jelas Eko kepada pengusaha itu, juga memiliki aneka risiko bahaya yang berpotensi mengancam keselamatan jiwa dan mengganggu kesehatan para pekerjanya.
Jika terjadi kecelakaan yang dialami pekerja ketika sedang bekerja di perkebunan itu, maka pihak perusahaan akan membayar biaya pengobatan atau bahkan santunan kematian (jika pekerjanya meninggal) dalam jumlah besar. Tak hanya itu, kecelakaan kerja yang terjadi juga bisa membuat perusahaan perkebunan tersebut kehilangan profit yang disebabkan pekerjanya mengalami kecelakaan atau sakit. Apalagi jika kecelakaan kerja itu disertai dengan rusaknya alat-alat kerja perkebunan.
“Bagaimana jika tidak terjadi kecelakaan kerja? Kan iuran JKK yang sudah dibayarkan ke BPJS Ketenagakerjaan tidak bisa dikembalikan?” tanya pengusaha itu. Eko mengakui bahwa program layanan JKK memang merupakan asuransi murni. Jika tidak terjadi kecelakaan selama pekerja itu menjadi anggota peserta BPJS Ketenagakerjaan, maka iuran yang telah dibayarkannya tidak dapat kembali.
“Dana iuran itu menjadi milik program JKK BPJS Ketenagakerjaan. Tetapi, BPJS Ketenagakerjaan akan mengembalikannya dalam bentuk pelayanan lain seperti menggelar pendidikan, pelatihan, pemberian bantuan peralatan K3, sosialisasi K3, program RTW (return to work) kepada para pekerja yang mengalami kecelakaan, dan sebagainya,” kata Eko Darwanto saat ditemui di ruang kerjanya di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Kepada pengusaha perkebunan tadi, kata Eko, ia pun menjelaskan hal serupa. Bahwa jika tidak terjadi kecelakaan kerja, maka BPJS Ketenagakerjaan akan mengembalikannya dalam bentuk pelatihan pemadaman kebakaran di lahan perkebunan yang banyak terjadi di kawasan Sumatera.
“Kesadaran perusahaan, terutama perusahaan menengah dan kecil, akan program asuransi JKK, termasuk pula program BPJS Ketenagakerjaan lainnya yaitu Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian (JK), dan Jaminan Pensiun (JP), masih rendah. Padahal BPJS Ketenagakerjaan hadir untuk melindungi dan menyejahterakan seluruh pekerja di Indonesia,” kata Eko. (Hasanuddin)
PDS & Ulah Nakal Pengusaha
Menurut Eko, masih rendahnya kesadaran banyak perusahaan/pengusaha mendaftarkan para pekerja sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan, membuat puluhan juta pekerja di Indonesia tidak mendapat perlindungan yang baik dari berbagai risiko kecelakaan kerja dan gangguan kesehatan yang berpotensi terjadi di perusahaan tempatnya bekerja. Kesejahteraan mereka dan keluarganya pun terancam.
Rendahnya kesadaran itu, tambah Eko, juga menjadi sebab mengapa hingga saat ini masih banyak perusahaan yang belum mendaftarkan para pekerjanya menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Padahal, regulasinya sudah jelas. Sanksi nya pun ada.
“Sesuai UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Tenaga Kerja (BPJS Ketenagakerjaan), bagi perusahaan yang belum mendaftarkan karyawannya menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan, dapat dikenakan sanksi berupa pencabutan izin usaha hingga sanksi pidana,” Eko menerangkan.
Kendati demikian, diakui Eko, secara kuantitas jumlah peserta BPJS Ketenagakerjaan terus mengalami tren peningkatan dari waktu ke waktu. Hingga Agustus 2018, total jumlah peserta yang terdaftar mencapai 48,4 juta orang. Terdiri atas 28,6 juta peserta aktif dan 19,8 juta peserta non aktif. Peserta BPJS Ketenagakerjaan didominasi sektor formal.
Sekadar informasi, BPJS Ketenagakerjaan telah membuat peta jalan (roadmap) yang tujuannya mengembangkan bisnis perseroan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Salah satu target jangka panjang yang tertuang adalah jumlah keanggotaan BPJS Ketenagakerjaan yang mencapai 48,5 juta peserta aktif pada tahun 2021.
Ironisnya, kata Eko, dari jumlah perusahaan yang kini sudah terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan tersebut, masih banyak perusahaan yang mendaftarkan pekerjanya hanya formalitas belaka atau sekadar memenuhi syarat yang diamanahkan dalam UU No 24 Tahun 2011 sekaligus menghindari perusahaannya terkena sanksi.
Sebab, temuan di lapangan, masih banyak perusahaan yang tidak mendaftarkan seluruh karyawannya menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan atau dikenal dengan istilah PDS (perusahaan daftar sebagian). “Misalnya sebuah perusahaan memiliki 100 karyawan atau pekerja. Yang didaftarkan ke BPJS Ketenagakerjaan hanya sebagiannya saja, misal cuma 30 atau 40 dari 100 karyawan itu,” kata Eko.
Situasi ini diperparah dengan ulah nakal para pelaku usaha yang tidak jujur dalam memberikan data-data gaji para karyawannya. Misalnya UMK Rp3 juta, tapi melaporkannya ke BPJS Ketenagakerjaan Rp2 juta. Tujuannya, tentu saja supaya si perusahaan bisa membayar iuran anggota BPJS Ketenagakerjaan serendah mungkin.
Manipulasi data pendapatan ini berpengaruh terhadap besar kecilnya klaim yang dibayarkan BPJS Ketenagakerjaan apabila terjadi kecelakaan kerja dan santunan kematian kepada pekerja yang mengalami kecelakaan kerja. “Yang dirugikan ya si pekerja dan keluarganya.”
Program RTW, BPJS-Tk Gandeng 6.000 Rumah Sakit
Eko berharap, BPJS Ketenagakerjaan mampu memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada seluruh pekerja di Indonesia. Tugas Dewan Pengawas sendiri, kata Eko, sebetulnya lebih ke arah kajian, apakah manfaatnya sudah cukup apa belum. “Kalau belum, ya kita rekomendasikan kepada jajaran Direksi untuk dievaluasi atau kalau perlu ditambah,” kata pria jebolan Fakultas Sastra prodi Bahasa Inggris Universitas Nasional (Unas) ini.
Karena itu, BPJS Ketenagakerjaan begitu peduli dengan K3. Soal K3, BPJS Ketenagakerjaan memiliki program promotif dan preventif. Misalnya bekerjasama dengan Kemnaker dalam hal membantu sosialisasi tentang K3 di perusahaan-perusahaan, membantu atau menggelar safety riding. Lalu membantu pengadaan alat-alat K3 seperti helm, sepatu safety, gloves atau sarung tangan, jaket keselamatan (life jackets), dan sebagainya. Juga mengadakan atau memberikan pelatihan-pelatihan tentang K3 kepada perusahaan-perusahaan.
BPJS Ketenagakerjaan juga punya program RTW (Return to Work), yaitu program pelatihan kerja yang diberikan kepada para pekerja yang mengalami cacat baik fisik maupun fungsional akibat kecelakaan kerja yang dialaminya, supaya bisa kembali bekerja sesuai dengan kondisinya. Dalam menjalankan program RTW, BPJS Ketenagakerjaan selama ini bekerjasama dengan rumah sakit-rumah sakit di seluruh Indonesia yang melayani program kecelakaan kerja yaitu RSTC (Rumah Sakit Training Center) atau sekarang bernama PLKK (Pusat Layanan Kecelakaan Kerja). Jumlahnya ada sekitar 6.000-an rumah sakit.
Dari ribuan PLKK itu lah, berbagai kasus kecelakaan kerja yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia terdata BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini terkait dengan klaim yang diajukan para pekerja sebagai peserta yang mengalami kecelakaan kerja dan harus dibayar BPJS Ketenagakerjaan. Data kecelakaan kerja BPJS Ketenagakerjaan itu selama ini dijadikan referensi atau rujukan oleh pemerintah (Kemnaker) tentang kasus kecelakaan kerja di Indonesia setiap tahunnya.
“Sebetulnya klaim yang masuk ke BPJS Ketenagakerjaan, kecil apabila dibandingkan dengan jumlah perusahaan dan tenaga kerja yang ada saat ini. Apalagi kini banyak perusahaan yang sudah menargetkan zero accident di perusahaannya. Semakin bagus perusahaan menerapkan aspek K3 dan SMK3 di perusahaannya, maka akan semakin kecil tingkat kecelakaan kerja yang kemungkinan terjadi,” Eko menambahkan.
Imbauan dan Harapan
Terkait kasus kecelakaan kerja yang terbilang masih tinggi setiap tahunnya, Eko mengimbau para pemangku kepentingan terutama perusahaan-perusahaan agar menerapkan aspek K3 secara baik. Selama ini frame para pelaku usaha di Indonesia tidak berpikir jangka panjang, sehingga aspek K3 sering dikesampingkan atau bahkan diabaikan. Akibatnya, begitu terjadi kecelakaan, langsung kelabakan dan harus mengeluarkan biaya dalam jumlah besar. “Mestinya para pelaku usaha di Indonesia berpikir panjang, bahwa K3 adalah investasi yang sangat menunjang produktivitas perusahaan,” tegasnya. (Hasanuddin)