Waktu dan proses penelitian yang dilakukan tim dari PKTK3 FKM UI berlangsung singkat dan cepat. Tetapi hasilnya terbilang cukup mengejutkan ; mengungkap fakta-fakta yang selama ini, bisa jadi, luput dari perhatian banyak pihak. Apa saja?
KONSTRUKSI merupakan sektor industri yang terbilang unik dibanding sektor industri lainnya semisal manufaktur. Dalam bisnis konstruksi, pemilik modal harus menggelontorkan dananya dalam jumlah yang sangat besar untuk sesuatu yang belum ada wujud, bentuk, atau barang sebagai hasil dari proses produksi perusahaan jasa konstruksi. Sedangkan pada bisnis manufaktur, pemilik modal justru akan mengeluarkan uang untuk suatu barang yang sudah ada bentuk dan wujudnya.
Ada begitu banyak keunikan yang terdapat pada industri konstruksi, yang kemudian dikenal dengan istilah karakteristik proyek konstruksi. Antara lain: pekerjaan dibatasi dana dan waktu, banyak menggunakan peralatan berat, pekerjaan lebih banyak dilakukan di luar ruangan dengan area kerja sangat luas dan bersinggungan langsung dengan aktivitas masyarakat sehari-hari, kondisi alam atau medan kerja yang berbeda-beda, melibatkan banyak perusahaan jasa konstruksi lainnya, melibatkan sumber daya manusia (SDM) dalam volume sangat besar yang didominasi tenaga kerja lepas (pekerja tidak tetap) dengan latar pendidikan beraneka ragam (didominasi pekerja dengan tingkat pendidikan SMP ke bawah), dan sebagainya. Karakteristik beragam itu lah yang kemudian menempatkan konstruksi sebagai salah satu sektor industri yang memiliki tingkat risiko bahaya tinggi (high risk) dan sering memicu terjadinya kecelakaan kerja.
Riset ILO di 8 Negara di ASEAN
Situasi ini tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi di banyak negara di dunia termasuk di sejumlah negara yang selama ini dinilai sudah menjadi negara maju dalam hal K3 semisal Amerika Serikat. Hanya saja lebih banyak terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Kasus kecelakaan kerja di sektor konstruksi sudah lama menjadi isu global. Berbagai pihak terus berupaya mencari solusi penanganan K3 di sektor konstruksi supaya kasus kecelakaan kerja (termasuk penyakit akibat kerja/PAK) bisa diminimalisir bahkan dinihilkan. Salah satunya adalah organisasi buruh dunia (ILO/International Labour Organization), yang dalam beberapa tahun terakhir begitu gencar mengampanyekan keselamatan dan kesehatan kerja bagi pekerja muda lewat programnya SafeYouth@Work, termasuk para pekerja muda sektor konstruksi di sejumlah negara berkembang di kawasan Asia Tenggara (ASEAN).
Untuk melakukan langkah-langkah strategis yang lebih konkret ke depannya, ILO butuh data komprehensif, valid, dan up-date tentang berbagai potensi bahaya dan risiko yang dihadapi para pekerja muda di sektor konstruksi dari berbagai negara di dunia utamanya negara-negara berkembang. “Di seluruh dunia, ada 8 negara yang mendapat dukungan dari ILO. Tiga adalah negara pilot project (Myanmar, Filipina, dan Vietnam), dan lima adalah negara peserta. Salah satunya adalah Indonesia,” kata Abdul Hakim, National Project Coordinator SafeYouth@Work ILO untuk Indonesia dan Timor Leste kepada ISafety di Jakarta, Kamis (18/7/2019).
Data itu bisa didapat lewat penelitian dan kajian yang dilakukan oleh lembaga yang kredibel di bidangnya. “Saat ini ILO sedang melakukan riset tentang pekerja muda sektor konstruksi di 8 negara di ASEAN. Untuk Indonesia, ILO meminta kita dari UI lewat hibah riset terbuka tentunya, untuk melakukan riset terhadap pekerja muda sektor konstruksi,” kata Indri Hapsari Susilowati, SKM, MKKK, PhD, ketua tim peneliti dari Pusat Kajian dan Terapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (PKTK3) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) kepada ISafety, menyambung keterangan Abdul Hakim.
Ketua Departemen K3 di FKM UI ini menjelaskan, riset atau penelitian terhadap pekerja muda di sektor konstruksi yang dilakukan timnya, terbilang singkat. Diawali dengan adanya permintaan dari ILO untuk Indonesia dan Timor Leste kepada pihaknya untuk melakukan riset pekerja muda di sektor konstruksi di Indonesia pada Maret 2019.
Permintaan ILO itu, kata Indri, dilakukan lewat hibah riset terbuka. Ada proses seleksi yang harus dijalani, sebagaimana proses seleksi hibah pada umumnya. Timnya dari PKTK3 FKM UI baru resmi ditunjuk setelah ILO mengumumkan pemenang hibah riset penelitian pekerja muda konstruksi di Indonesia pada April 2019. Setelah melakukan rapat koordinasi secara intens dengan ILO, pada Mei pihaknya mulai merumuskan metode dan instrumen penelitian yang akan digunakan, menentukan lingkup area penelitian, serta melakukan proses perizinan. “Pengumpulan data baru bisa dilakukan pada bulan Juni, sementara proyek SafeYouth@Work Project ILO itu akan berakhir di bulan Juli. Jadi waktunya cukup singkat, makanya namanya Rapid Assessment,” kata Indri.
Meski memiliki waktu penelitian yang singkat, toh timnya dari PKTK3 FKM UI yang berjumlah sembilan orang itu mampu menyelesaikan riset tepat waktu. Pada Selasa (16/7/2019) hasil penelitian berjudul “Rapid Assessment of Occupational Safety and Health in Indonesia Particularly among Young Workers in the Construction Sector” itu dipresentasikan di Hotel Mercure, Jl Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Menurut Indri, sebelumnya, hasil penelitiannya ini juga sudah dilakukan dalam forum consultation meeting pada Kamis (4/7/2019) dengan narasumber dari Kemnaker, DK3N, A2K4I, Kemen PUPR, dan ILO sendiri tentunya. Seminar hasil akhir ini selain dihadiri semua narasumber juga mengundang praktisi dari perusahaan konstruksi, KSPSI, dan Kementerian lainnya.
Karakteristik Berbeda
Menurut Indri, Rapid Assessment terhadap para pekerja muda yang bekerja di sektor konstruksi itu merupakan penelitian yang dilakukan untuk mendukung program ILO yaitu SafeYouth@Work Project dengan cara melakukan survey K3 pada pekerja muda sektor konstruksi. “Penelitian ini berfokus pada bahaya dan risiko yang dihadapi pekerja muda yang bekerja di sektor konstruksi,” kata Indri.
Penelitian tim dari PKTK3 FKM UI pimpinan Indri tersebut dilakukan terhadap 440 pekerja muda sektor konstruksi di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat dengan lingkup area penelitian pada proyek konstruksi: (1) PLTU di Banten; (2) Transportasi (bandara, runway, LRT); (3) Hunian (apartemen); (4) Gedung perkantoran; dan (5) Gudang.
Proyek-proyek konstruksi yang dijadikan area penelitiannya itu sedang dikerjakan oleh empat perusahaan. Yaitu PT X (proyek PLTU di Banten), PT Y (gedung perkantoran, apartemen, dan LRT di Jakarta), PT Z (proyek gedung perkantoran, pergudangan, dan runway bandara di Banten dan Jawa Barat), dan PT A (proyek apartemen di Jakarta). Dalam melakukan rapid assessment itu, pihaknya menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner dan interview & Focus Grup Discussion (FGD).
Dijelaskan Indri, output dari penelitian yang dilakukan tim dari PKTK3 FKM UI setidaknya ada 5 hal. Yaitu:
Lantas, kenapa pekerja muda dan kenapa konstruksi? Indri beralasan, pekerja muda (15-24 tahun) rentan mendapatkan kecelakaan dan sakit di tempat kerja. Berdasarkan 63 penelitian di 18 negara dan 43 penelitian di 13 negara (NIOSH, 2013), dampak terhadap pekerja muda lebih banyak non-fatality (kecelakaan kerja yang berakibat cidera ringan dan cidera sedang). Kendati demikian, kata Indri, bagi para akademisi seperti dirinya, kecelakaan kerja para pekerja muda yang lebih banyak non-fatality ini tidak bisa dianggap remeh. Sebab jika dibiarkan, kasus-kasus kecelakaan kerja non-fatality yang menimpa para pekerja muda akan terus terulang dan tidak tertutup kemungkinan akan menjadi cidera berat, kecacatan/disability, hingga kematian/fatality.
Menurut Indri, lebih banyaknya pekerja muda yang mengalami cedera ketika bekerja dibanding pekerja yang berusia di atas 25 tahun, lebih dikarenakan sifat dan karakter pekerja muda yang tengah mengalami masa transisi dari anak-anak ke dewasa sehingga secara emosional pekerja muda lebih ceroboh dan kurang kesadaran akan K3.
Pekerja muda juga merupakan generasi penerus bangsa, apalagi dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia akan mengalami bonus demografi di mana jumlah usia produktif akan berada jauh lebih besar. Menurut Indri, pekerja muda juga merupakan kontributor penting dalam menciptakan budaya K3 yang berkelanjutan.
Dari hasil penelitian singkat ini juga kemudian diketahui bahwa hingga saat ini belum ada program K3 khusus bagi pekerja muda di sektor konstruksi. Program-program K3 yang ada selama ini, khususnya di empat perusahaan jasa konstruksi tempat di mana 440 responden penelitian bekerja, bersifat umum. Indri menilai penting dibuat program K3 khusus bagi pekerja muda karena pekerja muda yang lahir di generasi milenial memiliki karakteristik berbeda.
“Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa para pekerja muda lebih suka mendapatkan penjelasan atau info terkait K3 dalam bentuk yang lebih nyata seperti gambar atau video yang lebih persuasif. Pekerja muda milenial tidak cukup hanya diberikan informasi terkait K3 di acara seperti Safety Talk atau Safety Meeting. Tetapi mereka harus terus-menerus diinfokan dan diingatkan lagi. Bahkan cara mengingatkannya pun harus dilakukan dengan diberi contoh, ada role model yang baik, bahkan dengan masuk dalam friendzone mereka supaya dapat diterima. Training K3 terhadap pekerja muda pun harus ada demo atau sesuatu yang nyata, yang bisa dijadikan contoh bagi mereka. Jadi, program K3 nya tetap sama, hanya cara pendekatan atau cara penyampaiannya saja yang berbeda,” Indri menjelaskan.
Terkait kenapa konstruksi, Indri menjelaskan bahwa sekarang ini pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan di bidang infrastruktur. “Dalam beberapa tahun terakhir ini ada banyak proyek konstruksi yang harus dikerjakan. Tentunya berimplikasi pada besarnya kebutuhan tenaga kerja di sektor konstruksi. Karena terlalu mementingkan dan mengejar target, aspek K3 kemudian tidak menjadi fokus perhatian sehingga kecelakaan kerja konstruksi banyak terjadi. Jadi, penting kiranya untuk memberikan pemahaman K3 yang baik kepada para pekerja muda di sektor konstruksi,” katanya.
Bekerja Lebih 8 Jam/Hari
Menurut Indri, 440 pekerja muda sektor konstruksi yang menjadi responden dalam penelitian timnya itu didominasi kaum pria yang mencapai 378 orang (86%), sisanya adalah pekerja muda perempuan 62 orang (14%). Tak semua pekerja muda tersebut merupakan pekerja lapangan, tetapi ada juga pekerja muda yang ditempatkan di kantor proyek seperti office boy/girl dan pekerjaan yang sifatnya ringan lainnya. Itu sebab, dalam penelitiannya, ada 62 pekerja muda wanita yang dijadikan sebagai responden.
Dari sisi usia, Indri mengakui bahwa ada 5 pekerja muda atau 1% yang menjadi sampel penelitian berusia di bawah 18 tahun atau rentang 15 – 17 tahun. Sesuai UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 69 bahwa perusahaan dapat merekrut pekerja berusia 15 – 18 tahun dengan kondisi tertentu, para pekerja muda yang berusia di bawah 18 tahun itu ditempatkan pada bidang pekerjaan yang tidak berisiko tinggi di sektor konstruksi, seperti office boy/girl. Pekerja muda yang memiliki rentang usia 18 – 20 tahun ada 114 orang (26%), dan pekerja muda rentang usia 21-24 tahun yang menjadi sampel penelitian sebanyak 321 orang (73%).
Secara pendidikan, 440 pekerja muda yang menjadi sampel penelitian timnya, didominasi oleh pekerja muda yang telah mengenyam pendidikan di atas 9 tahun (SMA, Diploma, dan Sarjana) yang mencapai 392 orang (89%). Sedangkan pekerja muda dengan masa pendidikan di bawah 9 tahun mencapai 48 orang (11%).
Sedangkan dari sisi status pernikahan, para pekerja muda itu didominasi kaum perjaka atau gadis yang jumlahnya mencapai 83,6%. Sedangkan yang sudah menyandang status sebagai suami atau istri, jumlahnya mencapai 15,9%. Menariknya, meski pekerja muda, toh ada juga di antara 440 pekerja muda tersebut yang menyandang status duda/janda (0,5%).
Menyangkut aspek tempat tinggal, sebagian besar pekerja muda itu mengaku tinggal di bedeng-bedeng atau mess atau barak yang disediakan pihak perusahaan kontraktor. Jumlahnya mencapai 62,3%. Sisanya, tinggal bersama orangtua (rumah sendiri) yang mencapai 20%, rumah sewa (kos atau ngontrak) sebanyak 13%, dan lain-lain (3%).
Soal upah, Indri mengatakan bahwa para pekerja muda yang menjadi sampel penelitian timnya, sebagian besar mendapat upah sesuai standar Upah Minimum Kota (UMK) masing-masing. Untuk Banten, katanya, standar UMR yang ditetapkan adalah Rp3.870.000/bulan. Sedangkan UMK Jakarta adalah Rp3.940.973/bulan. “Mereka yang mendapat upah sesuai UMK mencapai 15%, sedangkan pekerja muda yang diupah di bawah standar UMK sebesar 85%,” kata Indri.
Sebagian besar dari 440 pekerja muda yang menjadi sampel penelitian tim dari UI itu, bekerja dengan status bukan sebagai pekerja tetap. Jumlahnya mencapai 80% atau sekitar 352 orang. Hanya 88 pekerja muda (20%) yang sudah berstatus pekerja tetap. Para responden penelitian didominasi oleh pekerja muda pemula dengan pengalaman kerja 0 – 2 tahun yang mencapai 85,5% atau sekitar 376 orang. Pekerja muda yang telah berpengalaman kerja selama 3-4 tahun ada 56 orang (12,7%) dan pekerja muda dengan pengalaman kerja 5-7 tahun ada 7 orang (1,6%). Meski pekerja muda (15-24 tahun), toh ada juga 1 pekerja muda (0,2%) yang telah berpengalaman kerja di atas 7 tahun.
Selaku akademisi, Indri membenarkan bahwa tingkat pendidikan dan pengalaman kerja berkorelasi kuat dengan tingkat implementasi atau penerapan K3 di tempat kerja. “Ya betul sekali, Pak. Inilah yang menjadi permasalahan pekerja di sektor konstruksi terkait K3, tak terbatas pada pekerja muda saja,” kata Indri.
Indri menjelaskan, hasil penelitian ini mengidentifikasi ada tiga permasalahan yang dihadapi pekerja konstruksi. Yaitu : (1) masih tingginya angka turn over pekerja, (2) pendidikan yang rendah pada pekerja di sektor konstruksi, dan (3) konsistensi penerapan K3 menjadi terkendala sehingga perlu improvisasi yang terus-menerus. Dalam hal jam kerja sehari (work hours per day), sebagian besar pekerja muda tersebut bekerja lebih dari 8 jam/hari, jumlahnya mencapai 55% atau 242 orang. Bekerja sesuai standar kerja yaitu 8 jam sebanyak 40% (176 orang), dan bekerja kurang dari 8 jam sehari mencapai 5% atau 22 orang.
Dalam sepekan (workday per week), nyaris semua pekerja muda di sektor konstruksi yang menjadi sampel penelitian tim UI itu bekerja lebih dari 5 hari. Jumlahnya mencapai 93,0% atau sekitar 409 orang. Mereka yang bekerja sesuai aturan, yaitu 5 hari dalam satu minggu tercatat sebanyak 16 orang (6,4%). Dan yang bekerja kurang dari 5 hari dalam seminggu mencapai 3 orang (0,7%). Para pekerja muda itu juga lebih suka bekerja lembur (overtime). Pekerja muda yang melakukan kerja lembur kurang dari 14 jam mencapai 71,6%, sedangkan yang bekerja sesuai aturan kerja lembur yaitu selama 14 jam sebanyak 2,0%. Sementara tidak sedikit juga pekerja yang bekerja lembur lebih dari 14 jam, mencapai 26,4%.
Soal pekerja muda yang bekerja lebih dari 8 jam/hari, lebih 5 hari/minggu, dan lembur sesuai data penelitian tim dari PKTK3 FKM UI tersebut dinilai Ketua Umum Asosiasi Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi Indonesia (A2K4I) Lazuardi Nurdin, sebagai hal yang lumrah di sektor industri jasa konstruksi. Selain faktor tuntutan pekerjaan konstruksi yang dibatasi waktu sesuai target yang telah ditentukan, bekerja lembur juga memang sangat diinginkan para pekerja.
“Benar Pak, pejerja kontruksi hampir sering lembur dan memang pekerja kita paling senang lembur. Kalau tidak lembur malah mereka akan mencari pekerjaan di proyek yang ada lemburnya. Sebab, ada uang tambahan. Ini pengalaman saya pribadi ketika bekerja di sektor konstruksi selama 13 tahun,” kata Lazuardi Nurdin ketika dikonfirmasi ISafety secara terpisah terkait hasil penelitian tim dari PKTK3 FKM UI.
Hanya saja Lazuardi mengingatkan, di saat para pekerja konstruksi lembur, tingkat pengawasan biasanya menjadi kendur. Di saat-saat seperti itulah sering terjadi kecelakaan kerja. Lazuardi lalu menyebutkan serangkaian kasus kecelakaan kerja konstruksi yang marak terjadi di sepanjang tahun 2017 hingga awal 2018 lalu. “Itu kan terjadinya kalau gak tengah malam, ya dinihari, ketika para pekerja konstruksi lembur dan tidak ada petugas pengawas yang mengawasi pekerjaan. Pengawasan lemah kalau kerja lembur,” kata Lazuardi.
“Kelemahan juga ada pada konsultan pengawas, karena konsultan pengawas harus memastikan apakah pelaksanaan di lapangan sudah sesuai dengan gambar pelaksanaan atau tidak,” tambah Lazuardi. Konsultan pengawas dimaksud, adalah konsultan pengawas yang sudah dikontrak oleh pemilik proyek, dan tugasnya adalah mengawasi pekerjaan di proyek konstruksi.
Gadget Hingga ‘Dugem’
Hal menarik dari penelitian tim PKTK3 FKM UI ini adalah penelitian yang terkait dengan perilaku berisiko pada pekerja muda di industri konstruksi. Dengan kata lain, tim peneliti dari UI ini secara khusus menyoroti soal perilaku keseharian dan gaya hidup (life style) para pekerja muda sektor konstruksi yang menjadi sampel penelitian. Sesuatu yang selama ini, bisa jadi, luput dari perhatian.
Hasil penelitian seputar perilaku pekerja muda sektor konstruksi ini dipaparkan Prof Dr dr L Meily Kurniawidjaja, MSc, SPoK, anggota tim peneliti. Guru Besar FKM UI ini mengatakan, para pekerja muda wanita rawan mengalami sexual harashment mengingat sebagian besar (62,3%) pekerja muda itu tinggal di mess atau tempat lainnya yang disediakan perusahaan. Secara alamiah, katanya, usia muda sangat aktif hormon seksualnya.
Untuk hal ini Prof Meily memberikan saran agar ada edukasi tentang perilaku seksual yang bertanggung jawab. “Pekerja muda perlu dibekali pengetahuan dan berperilaku seksual yang bertanggung jawab, untuk menjaga dan menahan diri agar terhindar dari penyakit seksual dan kehamilan di luar nikah,” kata Prof Meily.
Pekerja muda juga perlu dibekali pengetahuan tentang pentingnya kesehatan, makanan yang cukup dan bergizi seimbang sesuai pekerjaannya. Beberapa dari pekerja muda itu mengaku cukup sarapan dengan segelas teh manis atau kopi di pagi hari, disertai menghisap rokok, sebelum berangkat ke tempat kerja. Ada kalanya juga, kata Meily, dua bungkus mie instan berkuah dimasak sebagai pengganti lauk-pauk lalu dimakan bersama nasi oleh 7 pekerja. “Ini tidak boleh lagi terjadi,” tegasnya.
Terkait beban kerja mengingat lebih dari separuh pekerja muda bekerja lebih dari 8 jam/hari, hampir semuanya bekerja lebih dari 5 hari dalam seminggu, dan sebagian lagi bekerja lembur lebih dari 14 jam/minggu, Prof Meily mengatakan bahwa beban kerja berlebih itu akan memicu terjadinya kelelahan fisik. Situasi ini diperparah dengan status kerja mereka yang sebagian besar (80%) merupakan pekerja tidak tetap. Status kerja tidak tetap itu, menjadi sumber stress psikososial yang akan berdampak pada gangguan kesehatan baik secara fisik maupun mental.
Hal lain yang disorot Prof Meily terkait perilaku pekerja muda di sektor konstruksi ini adalah kebiasaan mereka mengobrol dan bermain gadget hingga larut malam. “Kebiasaan mengobrol sesama pekerja serta penggunaan gadget yang diduga sebagai sarana hiburan melepas penat setelah bekerja seharian, justru menjadi masalah baru berkaitan dengan waktu tidur. Kebiasaan tersebut berdampak pada fenomena sulit tidur di kalangan pekerja yang kemudian berimplikasi pada kurangnya waktu tidur yaitu di bawah 8 jam/hari. Durasi tidur mereka rata-rata 4 – 6 jam/hari, dan dialami oleh mayoritas pekerja yaitu mencapai 74,3% dari 440 pekerja muda konstruksi yang menjadi responden dalam penelitian ini,” kata Prof Meily.
Celakanya, untuk mengusir rasa kantuk dan berdalih memulihkan tenaga dan semangat kerja, para pekerja muda tersebut mengonsumi minuman energi (energy drink) yang dijajakan kios-kios di sekitar lokasi proyek konstruksi. “Saya tidak tahu mereka mendapatkan referensi dari mana, jika mengantuk dan badan merasa lelah setelah bekerja, maka ‘obatnya’ adalah kopi atau energy drink. Minuman energy drink ini sudah disiapkan dalam kondisi siap minum baik dalam bentuk kemasan botol maupun seduhan, disiapkan bergantungan di kantin atau kios-kios yang ada di sekitar lokasi proyek konstruksi,” kata Meily.
Menurut pakar K3 Indonesia ini, kopi maupun energy drink akan menimbulkan eforia dan kekuatan semu yang sifatnya hanya sementara. Zat yang terkandung dalam kopi yaitu caffein dan methyl xantin pada energy drink akan menimbulkan efek stimulan pada susunan syaraf pusat yang bisa meningkatkan semangat dan kesegaran sehingga orang yang mengonsumsinya akan merasa lebih segar dan tidak lagi didera rasa kantuk. Tetapi itu sifatnya hanya sementara atau efeknya cuma sebentar. Setelah itu akan diikuti dengan kelelahan yang berlebih dan memerlukan waktu istirahat lebih banyak untuk membayar ‘hutang’ tidur atau istirahat, agar tercapai keseimbangan tubuh secara fisiologis.
Karena itu Prof Meily berharap agar semua pihak yang terkait di bidang konstruksi perlu mewaspadai kebiasaan meminum energy drink di kalangan pekerja konstruksi. “Sebab dalam jangka panjang, akan berdampak buruk pada kesehatan dan produktivitas pekerja, antara lain kebugaran menurun dan risiko CVD meningkat,” Prof Meily menambahkan.
Menurut Meily, selain bermain gadget hingga larut malam dan mengonsumsi energy drink, tidak sedikit juga pekerja yang mengonsumsi alkohol yaitu mencapai sekitar 10% dari total 440 pekerja muda konstruksi yang menjadi sampel penelitian tim dari PKTK3 FKM UI.
“Alasannya sama, yaitu melepas penat setelah bekerja dengan pergi ke tempat-tempat hiburan malam yang ada musik dangdutnya secara live, di sekitar lokasi proyek konstruksi tempat mereka bekerja. Ada yang seminggu sekali, ada yang dua hingga tiga kali dalam sebulan, dan paling banyak sebulan sekali. Saya juga heran, katanya upahnya tak cukup untuk membeli makanan yang layak, tapi kok mereka saya pergoki malah ‘nyawer’ uang ke biduan dangdut di café-café,” kata Meily.
Selain pergi ke tempat hiburan malam alias dugem (dunia gemerlap), ada juga yang mengonsumsi alkohol secara bersama-sama di sekitar lokasi proyek. Alasannya sama dengan energy drink yaitu untuk menjaga stamina dan kebugaran. “Pekerja termasuk pekerja muda perlu diedukasi untuk meluruskan tentang mitos alkohol dan energy drink sebagai minuman penambah semangat dan kebugaran. Mitos yang sangat keliru dan menyesatkan. Dalam jangka panjang, alkohol dan energy drink justru berdampak buruk pada kesehatan.” (Hasanuddin)
KETUA tim peneliti dari Pusat Kajian dan Terapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (PKTK3) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Indri Hapsari Susilowati, SKM, MKKK, PhD menyadari bahwa hasil penelitian timnya itu tidak merepresentasikan keseluruhan pekerja muda sektor konstruksi di Indonesia.
“Penelitian ini merupakan langkah awal. Perlu dilakukan peneliltian lebih lanjut dengan menambahkan variable lainnya yang belum diteliti seperti pola makan, intake nutrisi, aspek ergonomic (postur kerja, beban fisik, fit to work),” katanya.
Berikut rekomendasi tim dari PKTK3 FKM UI atas penelitian yang dilakukannya terhadap 440 pekerja muda konstruksi yang bekerja di empat perusahaan jasa konstruksi tadi.
RATIH FITRIANI, ST, MT
Pembina Jasa Konstruksi Muda Ditjen Bina Konstruksi Kemen PUPR
HASIL penelitian tim dari PKTK3 FKM UI, meski terbilang singkat dan cepat, mengundang komentar beragam dari berbagai pihak terkait. Ada yang menganggap biasa saja, ada yang bilang merupakan aplikasi dari teori-teori yang selama ini ada, dan ada pula yang menilainya sebagai suatu temuan baru yang menarik untuk dikaji lebih jauh tentang perilaku para pekerja konstruksi.
Ratih Fitriani, ST, MT dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR) mengatakan bahwa hasil penelitian tim UI itu mengungkap sisi lain dari kecelakaan konstruksi dan merupakan masukan sangat bagus bagi Kemen PUPR. Selama ini, kata Ratih, pihak Kemen PUPR khususnya Komite K2 (Keselamatan Konstruksi), tidak pernah memfokuskan pada satu kelompok umur pekerja (pekerja muda) saja, melainkan seluruh pekerja konstruksi.
“Terus terang, saya sebagai Pembina Jasa Konstruksi Muda di Kemen PUPR, baru kali ini mendengar temuan-temuan dari tim UI seperti ini. Temuan yang terungkap dari hasil penelitian tim UI itu merupakan sisi lain dari, mungkin, (sebagai salah satu faktor penyebab) berbagai kecelakaan konstruksi yang selama ini terjadi,” kata Ratih saat dikonfirmasi ISafety di Jakarta, Kamis (18/7/2019).
Menurut Ratih, selama ini Komite K2 sering melakukan monitoring dan evaluasi dan telah bekerja keras melakukan investigasi kecelakaan untuk berusaha mengungkap faktor-faktor penyebab pada setiap terjadinya kecelakaan konstruksi. “Selama ini, setahu saya, fokusnya lebih ke arah manajemen K3 proyek, termasuk safety factor di dalam engineering design. Memang ada faktor kelelahan yang menjadi temuan sebagai salah satu penyebab kecelakaan konstruksi. Tetapi bagaimana hubungannya dengan usia pekerja, termasuk faktor-faktor kesehatan para pekerja konstruksi usia muda (sebagaimana diungkap oleh tim peneliti UI, red), kita tidak sampai ke sana,” kata Ratih yang mengaku pernah duduk di kesekretariatan Komite K2.
Karena itu, kata Ratih, temuan tim dari PKTK3 FKM UI menjadi masukan yang sangat bagus bagi Kemen PUPR khususnya Komite K2. “Masukan yang sangat bagus. Akan kami sampaikan kepada atasan kami, dan kemudian bisa disampaikan dalam rapat-rapat Komite K2,” pungkas Ratih.
N Melyani Nursa’adah
SHES Manager Consortium of Sumitomo, BVI, and PT SSP
SEBAGAI pekerja di perusahaan kontraktor, N Melyani Nursa’adah mengaku sepakat dengan hasil penelitian tim dari PKTK3 FKM UI terkait pekerja muda (young workers) di sektor industri konstruksi. Menurut Melyani, apa yang diungkap dalam peneltian tim UI tersebut memang sesuai fakta di lapangan dan menggambarkan kondisi pekerja muda di sektor konstruksi.
“Saya sih setuju dengan hasil penelitian tim UI, yang memang mengambarkan kondisi pekerja muda di sektor konstruksi. Penelitian (tim UI) merupakan validasi sampling dari teori-teori yang ada dengan kondisi aktual,” kata Melyani, Safety Health Enovironment and Security (SHES) Manager Consortium of Sumitomo Corporation, Black & Veatch International (BVI), and PT Satyamitra Surya Perkasa (SSP) ketika dikonfirmasi ISafety terkait hasil penelitian tim dari PKTK3 FKM UI tentang pekerja muda di industri konstruksi.
Atas temuan tim peneliti dari UI tersebut pihaknya akan lebih melakukan mentoring dan pembinaan khusus terhadap ‘young workers’ khususnya yang bekerja di proyek konstruksi di bawah koordinasinya. Melyani mengakui di proyek konstruksi yang sedang digarapnya di Lontar Ext 1 x 315 MW CFSPP Project di Banten, juga ada pekerja muda yang berusia di bawah 18 tahun, bawaan dari mandor borong/harian.
“Di tempat saya juga ada (pekerja muda), kadang saya juga ‘kecolongan.’ Misal HRD nya gak ‘ngeh’ dengan pekerja muda berusia 17 tahun bawaan mandor dan diapprove registrasi untuk ikut induction. Ada juga kasus pemalsuan umur,” katanya.
Secara pribadi, kata Melyani, ia tak keberatan dengan kehadiran para pekerja muda di sektor konstruksi yang merupakan sektor pekerjaan high risk. “Pekerja muda juga ada manfaatnya. Mereka bersemangat dan power masih sangat OK. Tinggal kita petakan untuk penempatan pekerjaannya dan banyak memberikan program pelatihan serta site coaching. Tapi young worker dan zero experience memang tinggi terlibat dalam case kecelakaan kerja, apalagi terkadang masih lemahnya pengawasan oleh mandor/supervisor di lapangan,” kata wanita muda berkacamata ini.
Masalahnya, kata Melyani, kontraktor itu berhadapan dengan ETTO (everything about efficiency, budget, money, time, etc). Di samping itu, tingkat pergantian pekerja (turnover) di proyek konstruksi sangat tinggi. “Kontraktor itu harus deal-deal-an dengan budget, limited resources , dll. Kalau owner/main-contractor ngasih budgetnya ngepress, ya kontraktor utama/sub-kontraktor/mandor borong nggak bisa berbuat banyak.”
Terkait usia, Melyani menyarankan supaya ada aturan tegas terkait umur minimum di proyek. Misalnya minimum 18 tahun, sesuai regulasi ketenegakerjaan yang ada. Menurutnya, sebagian perusahaan sudah tegas menerapkan aturan ini, tapi sebagian lagi masih belum karena tidak ada undang-undang yang secara khusus mengatur hal tersebut. Karena itu, peran HRD di sektor konstruksi menjadi sangat penting. “Peran HRD di sektor konstruksi sangat penting terkait ‘the right man for the right job.’ Mandor-mandor juga harus diikat aturan aggreement manpower yang jelas. Peran HRD membuatkan agreement PKWT jadi penting,” Melyani menambahkan.
Dikonfirmasi soal temuan tim UI banyaknya pekerja muda yang bermain gadget atau HP, Melyani tak memungkirinya. Hanya saja, katanya, pihaknya akan memberikan teguran sangat keras apabila ketahuan ada pekerja di proyek sedang menggunakan HP atau memainkan gadget di saat bekerja. “Isu (pekerja muda menggunakan gadget) itu memang tidak bisa terbantahkan. Mayoritas main HP. Setelah bekerja, pekerja muda banyak bermain HP berjam-jam di rumah atau di mess. Karena itu, di tempat saya dilakukan tindakan tegas terkait hal ini. Last warning jika kedapatan main HP pada jam kerja atau di saat bekerja,” Melyani menegaskan.
ABDUL HAKIM
National Project Coordinator
SafeYouth@Work Project ILO Indonesia-Timor Leste
HASIL penelitian tim PKTK3 FKM UI tentang pekerja muda di sektor konstruksi mengundang komentar beragam dari berbagai pihak terkait. Hal ini, setidaknya, terlihat dari banyaknya komentar yang terlontar ketika tim peneliti dari PKTK3 FKM UI pimpinan Indri Hapsari Susilowati, SKM, MKKK, PhD mempresentasikan hasil penelitian mereka dalam acara “Workshop Meeting” di Hotel Mercure, Jl Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Selasa (16/7/2019).
Acara itu dihadiri berbagai pihak terkait seperti Kemnaker, Kemen PUPR, DK3N, BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan, Appindo, serikat pekerja, perusahaan jasa konstruksi, dan tentunya dari ILO sebagai pihak yang memfasilitasi penelitian tersebut. Dalam acara workshop meeting yang berlangsung sekitar hampir 3 jam tersebut, beragam komentar terlontar utamanya menyangkut hasil penelitian dan rekomendasi dari tim. Misalnya saja, penelitian dinilai kurang mendalam, sampel penelitian berasal dari empat perusahaan jasa konstruksi skala besar, dan masih banyak lagi. Singkatnya, penelitian tim PKTK3 FKM UI itu dianggap tidak merepresentasikan kondisi sebenarnya para pekerja muda di sektor konstruksi Indonesia.
Abdul Hakim, National Project Coordinator SafeYouth@Work Project ILO Indonesia-Timor Leste, yang juga hadir dalam acara tersebut, menjelaskan bahwa penelitian ini memang bertujuan untuk memahami situasi dengan cepat. Data cepat ini diperlukan agar semua pihak memiliki dasar untuk melakukan perbaikan. Semua pihak menyadari bahwa ada sejumlah hal yang perlu ditanggapi untuk perbaikan atau peningkatan kondisi kerja, khususnya bagi pekerja muda di sektor konstruksi di Indonesia.
“Bagi ILO, rapid assessment ini telah menghadirkan data tentang pekerja muda dan K3 di sektor konstruksi Indonesia. Tentu, rapid assessment ini perlu diperkuat dengan studi-studi baru untuk melengkapi data yang belum terungkap di acara Workshop Meeting,” kata Abdul Hakim kepada ISafety di Jakarta, Kamis (18/7/2019).
Hakim mengakui bahwa hasil rapid assessment masih memerlukan pendalaman. “Data yang ada saat ini tentu harus diperkuat dengan data-data terkait lain. Data-data yang dapat mendorong peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja, sekaligus meningkatkan produktivitas,” katanya.
Langkah awal yang telah dilakukan itu, kata Hakim, diharapkan bisa menjadi pijakan untuk melakukan langkah-langkah berikutnya. “Hasil (rapid assessment) ini diharapkan bisa menjadi bahan rujukan dan digunakan oleh pemerintah, pemberi kerja, dan penerima kerja untuk ditindaklanjuti. Semoga saja ada banyak lembaga yang melakukan studi-studi baru terkait K3 dan pekerja muda di sektor konstruksi yang dapat memperkuat data dan informasi. Semuanya demi peningkatan produktivitas dan pemenuhan hak bagi pengusaha dan pekerja,” Abdul Hakim menambahkan.
SUBKHAN, ST, MPSDA
SVP Divisi QHSE PT Waskita Karya (Persero) Tbk.
BAGI Senior Vice President (SVP) Divisi QHSE PT Waskita Karya (Persero) Tbk Subkhan, ST, MPSDA, perilaku penggunaan smartphone di kalangan pekerja muda konstruksi merupakan hal tak terhindarkan sebab smartphone bagi pekerja muda yang lahir di generasi milenial, merupakan bagian dari kehidupan mereka. Karena itu, kehadiran smartphone bagi pekerja muda konstruksi dapat berpotensi positif dan negatif.
“Positifnya, untuk menunjang knowledge, cara kerja, smart risk mitigation, koordinasi antar fungsi bahkan deteksi dini risiko K3, dan problem solving segala masalah di site. Namun negatifnya jika HP digunakan oleh pekerja yang tidak memahami prinsip bahaya K3 atas pekerjaan ditambah lagi tidak adanya peraturan penggunaan HP di proyek bisa malapetaka, mulai dari kecelakaan kerja yang bersifat fisik maupun melakukan share data yang lebih besar nilai kerugiannya karena menyangkut nama perusahaan,” kata Subkhan saat dimintai komentarnya terkait hasil penelitian dari tim UI.
Hal kedua dari pekerja muda di sektor konstruksi yang terkait dengan hasil penelitian tim UI menurut Subkhan adalah pekerja muda dengan latar belakang pendidikan terbatas, sebaiknya mendapatkan bekal basic HSE di daerahnya masing-masing yaitu dari Disnaker sebagai prasyarat dapat surat kuning dari dinas sebelum berangkat mendaftar ke proyek. “Itu pun oleh proyek kembali harus ditest kelaikan kerja dari sisi kompetensi dan kesehatan kerjanya, lalu setelah diterima dibina safety-nya, dipaksa mengikuti aturan dengan pakta integritas dan dikendalikan dengan penerapan SMK3 oleh petugas proyek di mana dia bekerja,” Subkhan menambahkan.
Disinggung soal sosialisai kesehatan kerja semisal merokok, alkohol, P2HIV/AIDS, dll mutlak untuk mengendalikan emosi jiwa muda sehingga tetap produktif, terarah dan sehat selamat. Terkait emosi jiwa pekerja muda yang labil, Subkhan menyarankan agar penyuluhan keagamaan yang dilakukan oleh proyek juga harus dilakukan secara rutin untuk keseimbangan sebagaimana dilakukan di sejumlah proyek di Waskita Karya.
Terakhir, terkait reward dan punishment. “Saya mencontohkan pekerja muda di proyek Waskita diberikan chalenge : sebagai role model beberapa orang dengan benefit seperti change agent Iptex Waskita, ketika person ini berhasil memotivasi pekerja yang lain untuk juga tidak kalah berprestasi.”
Karena itu, lanjut Subkhan, terkait pekerja muda di sektor konstruksi dalam konteks K3, maka habit dan budaya HSE pekerja muda harus dibentuk dari 5K yaitu Knowledge, Kepatuhan, Komitmen proyek, Kontrol sistem, dan Kerohanian. (Hasanuddin)