Hal itu dikatakan Eko Darawanto, Anggota Dewan Pengawas (Dewas) BPJS Ketenagakerjaan. “Rendahnya kesadaran itu, juga menjadi sebab mengapa hingga saat ini masih banyak perusahaan yang belum mendaftarkan para pekerjanya menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan,” kata Eko.
Padahal, regulasinya sudah jelas. Sanksi nya pun ada. “Sesuai UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Tenaga Kerja (BPJS Ketenagakerjaan), bagi perusahaan yang belum mendaftarkan karyawannya menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan, dapat dikenakan sanksi berupa pencabutan izin usaha hingga sanksi pidana,” Eko menerangkan.
Kendati demikian, diakui Eko, secara kuantitas jumlah peserta BPJS Ketenagakerjaan terus mengalami tren peningkatan dari waktu ke waktu. Hingga akhir 2019 lalu terdiri dari sekitar 650 perusahaan pemberi kerja terdaftar dan sekitar 54,5 juta pekerja, yang terdiri atas peserta aktif dan peserta non-aktif. Peserta BPJS Ketenagakerjaan didominasi sektor formal.
Sekadar informasi, BPJS Ketenagakerjaan telah membuat peta jalan (roadmap) yang tujuannya mengembangkan bisnis perseroan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Salah satu target jangka panjang yang tertuang adalah jumlah keanggotaan BPJS Ketenagakerjaan yang mencapai 48,5 juta peserta aktif pada tahun 2021.
Ironisnya, kata Eko, dari jumlah perusahaan yang kini sudah terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan tersebut, masih banyak perusahaan yang mendaftarkan pekerjanya hanya formalitas belaka atau sekadar memenuhi syarat yang diamanahkan dalam UU No 24 Tahun 2011 sekaligus menghindari perusahaannya terkena sanksi.
Sebab, temuan di lapangan, masih banyak perusahaan yang tidak mendaftarkan seluruh karyawannya menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan atau dikenal dengan istilah PDS (perusahaan daftar sebagian).
“Misalnya sebuah perusahaan memiliki 100 karyawan atau pekerja. Yang didaftarkan ke BPJS Ketenagakerjaan hanya sebagiannya saja, misal cuma 30 atau 40 dari 100 karyawan itu,” Eko mencontohkan.
Situasi ini diperparah dengan ulah nakal para pelaku usaha yang tidak jujur dalam memberikan data-data gaji para karyawannya. Misalnya UMK Rp3 juta, tapi melaporkannya ke BPJS Ketenagakerjaan Rp2 juta. Tujuannya, tentu saja supaya si perusahaan bisa membayar iuran anggota BPJS Ketenagakerjaan serendah mungkin.
Manipulasi data pendapatan ini berpengaruh terhadap besar kecilnya klaim yang dibayarkan BPJS Ketenagakerjaan apabila terjadi kecelakaan kerja dan santunan kematian kepada pekerja yang mengalami kecelakaan kerja. “Yang dirugikan ya si pekerja dan keluarganya,” kata Eko. (Hasanuddin)